Senin, 25 Januari 2010

Celah Dalam Sistem Hukum Untuk Menghindari Pajak

Secara umum, untuk mengetahui tingkat kepatuhan dapat diukur dengan rasio dari wajib pajak yang mengisi laporan pajak dengan jumlah wajib pajak potensial yang terdaftar dalam pranata-pranata sosial.
Sebenarnya keadaan yang ideal dalam negara-negara yang sedang berkembang, tingkat efisiensi sektor pajak dapat mencapai level di atas 1%, dan Indonesia diperkirakan hanya mencapai 0,95%, Sedangkan Filipina dan Malaysia dapat mencapai masing-masing 1,34% dan 1,15%. Hal ini dapat mengakibatkan mengurangi efektivitas kebijakan fiskal untuk stabilisasi yang pada gilirannya akan menimbulkan masalah pada kebijakan ekonomi Indonesia.
Menurut penulis, rendahnya tingkat efisiensi pajak dan tingginya angka calon wajib pajak yang potensial dapat disebabkan, karena kurangnya kesadaran masyarakat Indonesia untuk mendaftarkan dirinya ke kantor pajak. Selain itu, menurut penulis banyaknya kasus penghindaran pajak disebabkan, karena masih banyaknya kelemahan-kelemahan sistem hukum pajak Indonesia.
Analisa penulis di atas, didukung dengan pendapat Direktur Jenderal Pajak yang menjelaskan bahwa, lebih dari setengah legislator, menteri-menteri dan pejabat tinggi pemerintahan melakukan penghindaran pajak dari sektor penghasilan sampingan yang besar, tetapi tidak melaporkan diri kepada institusinya.
Apabila penulis meninjau sistem hukum perpajakan di negara Prancis, maka di negara tersebut sistem perpajakan di negara Prancis memiliki struktur wewenang yang terpisah dengan sistem wewenang eksekutif, sehingga departemen perpajakan dapat lebih indenpenden dalam mencari, memeriksa dan mengawasi para wajib pajak, baik dari kalangan masyarakat maupun dari kalangan eksekutif.
Sistem self assesment dalam peraturan perundang-undangan pajak di Indonesia yang mulai diterapkan sejak reformasi sistem perpajakan 1983 sangat berpengaruh bagi WAJIB PAJAK. Satu sisi WAJIB PAJAK diberi kepercayaan untuk menghitung, membayar, dan melaporkan sendiri jumlah pajak yang seharusnya terutang tetapi di sisi lain mengharuskan WAJIB PAJAK untuk siap menghadapi pengujian kepatuhan atas pajak yang dilaporkan, yakni menghadapi pemeriksaan pajak.
Menurut penulis, Sistem self assesment yang dianut oleh Indonesia, tidak dapat diterapkan secara terpisah-pisah dengan sistem-sistem yang dapat mendukungnya, seperti sistem pengawasan dan sistem infestigasi, karena menurut penulis, Sistem self assesment yang diterapkan di dalam masyarakat yang memiliki kesadaran hukum yang rendah, Sistem self assesment ini dapat digunakan oleh para wajib pajak nakal sebagai kesempatan untuk menghindari pajak dari sistem hukum Indonesia. Selain itu, penerapan sistem pengawasan dalam perhitungan dan pemungutan pajak dapat memberikan kontribusi bagi akuratnya sebuah nominal tagihan pajak, dan sistem infestigasi dapat memberikan kontribusi dalam mengetahui calon-calon wajib pajak potensial yang tidak terdaftar, baik karena itikad baik maupun karena motif penghindaran pajak. Pendapat penulis tersebut, di dasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 1466 Tahun 2002, telah mengisyaratkan adanya kebutuhan untuk mengetahui setiap wajib pajak khususnya yang terdaftar (knowing your tax payer(, tetapi belum diterapkan secara baik di dalam proses pemungutan pajak.
Apabila penulis meninjau pada Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 Pasal 8 ayat (1) - ayat (6)., maka sangat jelas, bahwa sistem self assesment di Indonesia sangat fleksibel, karena dalam Undang-Undang tersebut menjelaskan bahwa, wajib pajak yang melaporkan materi pelaporan yang tidak didukung oleh data faktual, maka pembetulan masih dapat dilakukan selama belum melampaui dua tahun, dan belum dilakukan pemeriksaan oleh fiskus. Selain itu, tindakan penghindaran pajak oleh para wajib pajak potensial dapat juga disebabkan, karena kurangnya sosialisasi pajak, baik sosialisasi dibidang pajak material maupun sosialisasi pajak formil (tata cara perpajakan). Pendapat ini, penulis dasarkan pada beberapa orang yang berkonsultasi kepada penulis, mengenai perhitungan pajak dan tata cara mendapatkan NPWP.

3 comments:

Prima angkupi mengatakan...

Celah Hukum akibat dari multitafsir undang2nya!!

muhlisin usman mengatakan...

banyak tuh UU yang saling bertentangan..
klo gitu, gmn caranya mengatasi hal tsb ??

Anonim mengatakan...

undang2 dibuat oleh politikus yg katanya wakil rakyat.
politikus bisa tetap eksis karena mereka didukung oleh para pengusaha (kapitalis).
jd sebenarnya UU dibuat untuk melindungi kekayaan para kapitalis.
William Gladstone (1852), Perdana Mentri Inggris : “Sejak saya bertugas
disini, saya mulai menyadari ternyata pemerintah tidak berkuasa atas
masalah finansial! Mereka memang tidak di rencanakan untuk berkuasa,
pekerjaan sebenarnya mereka adalah melindungi dan menutupi Kekuatan
Kaya”.

Posting Komentar