Senin, 11 Oktober 2010

UNDANG-UNDANG TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 25 TAHUN 1999
TENTANG
PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA
PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
  1. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia menyelenggarakan pemerintahan, dan pembangunan untuk mencapai masyarakat adil, makmur, dan merata, berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
  2. bahwa pembangunan daerah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional dilaksanakan melalui otonomi daerah dan pengaturan sumber daya nasional, yang memberi kesempatan bagi peningkatan demokrasi dan kinerja daerah yang berdaya guna dan berhasil guna dalam penyelenggaraan pemerintahan, pelayanan masyarakat, dan pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat menuju masyarakat madani yang bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme, untuk itu diperlukan keikutsertaan masyarakat, keterbukaan, dan pertanggungjawaban kepada masyarakat;
  3. bahwa untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah melalui penyediaan sumber-sumber pembiayaan berdasarkan desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan, perlu diatur perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah berupa sistem keuangan yang diatur berdasarkan pembagian kewenangan, tugas, dan tanggung jawab yang jelas antar tingkat pemerintahan;
  4. bahwa Undang-undang Nomor 32 Tahun 1956 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Negara Dengan Daerah-daerah Yang Berhak Mengurus Rumah-Tangganya Sendiri, sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan serta adanya kebutuhan dan aspirasi masyarakat dalam mendukung otonomi daerah maka perlu ditetapkan Undang-undang yang mengatur perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah;

TIDAK PERLU PENGACARA UNTUK MENGGUGAT PIHAK LAIN

“Anda tidak perlu pengacara untuk menggugat pihak lain. Situs ini akan membantu anda mencari keadilan lewat proses menggugat di Indonesia.”

Catatan di atas dapat anda temui pada weblog atau biasa disingkat blog milik Markus H. Dipo, mjccase.blogspot.com. Jangan keliru, Markus bukanlah seorang advokat. Dia “hanya” dosen di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, selain sebagai konsultan bisnis dan manajemen. Blog yang diberi nama “Kursus Hukum dari Orang Awam untuk Orang Awam” berisikan tips dan petunjuk untuk menggugat pihak lain secara perdata tanpa perlu bantuan pengacara. Materi yang dimuat dalam blog itu sendiri adalah hasil riset maupun kasus hukum yang dialami yang bersangkutan. Apa itu blog dan sejauh mana blog dapat dimanfaatkan dalam praktik hukum oleh advokat sungguhan?

Secara sederhana blog dapat diartikan website pribadi yang memuat jurnal maupun catatan yang bersangkutan yang dimutakhirkan secara berkala mengenai beragam topik. Jumlah blog di Indonesia, menurut riset Priyadi, salah seorang blogger – sebutan bagi pembuat/pemilik blog – saat ini mencapai 30.000 buah. Salah satu blog perintis di Indonesia milik Enda Nasution, mengutip laporan Technocrati (mesin pencari blog) per April 2006, menyebutkan ada dua blog lahir setiap detik, setiap harinya. Jumlah blog bertambah dua kali lipat setiap enam bulan sekali.

Blog memang telah cukup lama menjadi sebuah fenomena, di samping hebohnya website pertemanan friendster. Para blogger datang dari berbagai kalangan, mulai dari mahasiswa, profesional, aktivis sosial, pedagang, sampai ibu rumah tangga. Khusus bagi para profesional di Amerika, khususnya advokat serta akademisi hukum, blog telah dipandang sebagai fenomena besar baru di bidang sosial, politik dan ekonomi. Demikian seperti diungkapkan Gary Becker, peraih Hadiah Nobel bidang ekonomi dan profesor pada University of Chicago, sebagaimana dikutip Helen W. Gunnarsson dalam “Do We Blawg and How?” (Illinois Bar Journal, May 2006, Vol. 94).

Di Negeri Paman Sam, blog yang menyangkut bidang hukum populer dengan sebutan blawg sebagai kependekan dari law blog. Robert J. Ambrogi, advokat dan konsultan internet, memperkirakan ada sekitar 1.000 blawg di Amerika, dan blawg lainnya terus bermunculan setiap harinya. Demikian dilaporkan dalam “Lawyers leap into ‘Blogosphere’” (Lawyers Weekly USA, 25 May 2005). Buat ukuran Amerika, jumlah itu memang belum dapat dikategorikan banyak mengingat jumlah advokat di negara itu yang mencapai ratusan ribu.

Berbeda dengan rekan sejawat di Amerika, advokat di Indonesia rupanya belum terlalu ngeh dengan fenomena blog. Blog yang khusus mengupas dunia hukum dan praktik keadvokatan masih sangat langka. Dengan jumlah blog di Indonesia yang mencapai 30.000 buah serta jumlah advokat yang sedikitnya ada 16.000, tentu kita bertanya-tanya mengapa sulit menemukan advokat yang menjadi blogger. Setidaknya ada dua alasan yang melatarbelakanginya; pertama, advokat Indonesia belum menyadari pentingnya blog bagi pekerjaan mereka. Kedua, mereka, advokat/kantor advokat merasa keberadaan website sudah mencukupi untuk menjangkau klien dan publik sebagai potensial klien.

Bagi advokat, blog rupanya tidak hanya dapat menjadi media untuk menuangkan catatan maupun pandangan pribadi terhadap isu tertentu, tapi juga sebagai sarana “berjualan” alias menjaring klien potensial. J. Craig Williams, advokat litigasi di Newport Beach, California, memperkirakan blog miliknya, mayitpleasethecourt.net, bisa menghasilkan satu klien baru per minggu bagi kantornya yang memiliki lima advokat. Williams menyebutkan, blog yang ia buat sejak 2003 itu mendapatkan 20.000 hits per hari. “Jika mereka akan menyewa jasa saya, mereka dapat membaca apa yang saya tulis dan tahu mengenai saya tanpa pernah mendatangi saya secara langsung,” kata Williams.

Jurus ini pula yang dicoba ditiru Nur Muhammad Wahyu Kuncoro, seorang advokat di Tangerang, Banten, dengan blognya, advokatku.blogspot.com. Selain mencurahkan ulasan kritisnya terhadap isu-isu hukum aktual, Wahyu juga memanfaatkan blognya untuk mendapatkan klien potensial. “Bagi pencari keadilan tapi belum berkeinginan menggunakan jasa advokat/Pengacara atau merasa mampu untuk menyelesaikannya tapi terkendala dengan pranata-pranata hukum yang ada. Kini anda tidak perlu lagi memendamkannya atau menggunakan cara penyelesaiannya menurut cara anda sendiri. Hubungi : NM. WAHYU KUNCORO, S.H. Advokat/Pengacara-Penasihat Hukum”, begitu tulis Wahyu dalam blognya.

Jika sudah ada website buat apalagi blog? Setidaknya ada dua kelebihan blog dibandingkan website; jauh lebih murah dan, secara teknis, pembuatannya relatif lebih mudah. Di Amerika sendiri blog terbukti media pemasaran yang efektif bagi advokat yang berpraktik solo serta kantor hukum skala kecil. Di sana, untuk membuat website memerlukan sekitar USD 10.000, sedang untuk membuat blog cuma merogoh USD 10 saja dari kocek. Bahkan, blog dapat dibuat tanpa biaya alias gratis lewat beberapa website seperti blogger.com, friendster.com, typepad.com, atau tripod.com.

Namun, pemasaran jasa hukum lewat blog juga ada kiat-kiatnya. Larry Bodine, konsultan pemasaran jasa hukum yang juga pengarang buku “Larry Bodine’s Professional Marketing Blog”, menyarankan kantor hukum memanfaatkan blog untuk memamerkan keahlian mereka. Menurut Bodine, sebuah blog harus fokus pada bidang hukum yang spesifik, seperti misalnya paten atau hukum keluarga. Selain itu, blog harus juga dimutakhirkan secara rutin dengan perkembangan hukum di bidang terkait. Ini satu lagi keuntungan blog dibandingkan website yang cenderung stagnan; blog dapat dimutakhirkan, bahkan beberapa kali dalam sehari.

Masih menurut Bodine, alasan penting lainnya mengapa harus memiliki blog adalah untuk meningkatkan visibilitas kantor hukum di internet. Pasalnya, Google dan mesin pencari lainnya mengukur relevansi situs dari seberapa sering situs itu dimutakhirkan serta berapa banyak situs lain yang menghubungkan (link) ke situs yang bersangkutan. “Alasan anda ingin memiliki blog adalah karena dia memperoleh lebih banyak traffic ketimbang website lantaran mesin pencari telah mempercepat algoritmanya untuk mencari daftar blog lebih dulu,” kata Bodine. Secara mendasar, blog adalah “mahluk” yang diburu mesin pencari; teks dan sesuatu yang baru serta menarik.

Secara alamiah, blogger kerap memandang diri mereka seolah-olah sebagai jurnalis. Mereka kerap kali melaporkan (baca: menuliskan) serta memberikan komentar beserta analisis mengenai isu-isu hukum yang sedang hangat. Seperti disebutkan di awal, blawg yang baik adalah yang isinya spesifik mengenai bidang hukum tertentu. Robert J. Ambrogi, pengarang buku “The Essential Guide to the Best (and Worst) Legal Sites on the Web,” dalam kolomnya “Blawgs: More Than Just Fluff” (Law.com), membuat daftar 31 blawg yang dianggap berguna bagi praktik hukum. Karena tidak sedikit materi dalam blog yang berkualitas, maka banyak blog yang memiliki pengunjung setia atau bahkan menjadi pelanggan (subscriber) dari blog tersebut.

Bahkan, institusi setingkat Mahkamah Agung Amerika (US Supreme Court) tercatat pernah mengutip isi blog “Sentencing Law and Policy” pada putusannya dalam perkara U.S. v. Booker pada Januari 2005. Pemilik “Sentencing Law and Policy” memang bukan sebarang orang. Douglas Berman, si empunya blog, adalah profesor hukum di Ohio State University, pakar serta penulis buku teks tentang hukum pemidanaan. Blog milik Berman mencetak rata-rata 3.000 hits per hari dan sempat mencapai 20.000 hits sehari saat putusan perkara Booker dibacakan. Blog tersebut juga dikutip oleh enam pengadilan berbeda karena analisis kasusnya yang substantif.

Melihat betapa besar pengaruh yang mampu dihantarkan media bernama blog, maka bagi advokat ada sejumlah rambu yang perlu diperhatikan. Sedikitnya ada tiga isu praktis dan etis berkaitan advokat-blogger: mengizinkan atau tidak pembaca untuk menuliskan komentar, memasang disclaimer, dan apakah blog dapat dikategorikan sebagai iklan. Konsultan manajemen praktik hukum dari Washington DC, Reid Trautz, menyarankan agar advokat menggunakan “pendekatan paling aman” saat membuat blog.

Karena itulah, penting bagi advokat untuk membuat disclaimer yang umumnya tercantum dalam website kantor hukum bahwa tidak ada hubungan advokat-klien dan bahwa situs tersebut hanya untuk kepentingan informasi belaka (informational purposes only). Karena alasan itu, beberapa blawg tidak mengizinkan pembaca memberikan komentar. Hal lainnya menyangkut, dapatkah blog digolongkan sebagai iklan? Undang-undang RI No.18/2003 tentang Advokat memang melarang advokat untuk beriklan. Namun, jika isi blog tak ubahnya sebuah website maupun direktori kantor hukum yang telah banyak bertebaran, dan tidak mengandung janji-janji yang sedemikian rupa dapat merugikan salah satu pihak, maka blog tidak bisa dikatakan melanggar UU Advokat.

Hal lain yang penting dalam aktivitas blogging adalah kontinuitas atau keberlanjutan. Advokat-blogger harus memiliki komitmen untuk menulis di blog sedikitnya tiga atau empat kali dalam sepekan. Sementara, blogger lain berpendapat, komitmen untuk mem-posting tulisan seminggu sekali saja sudah cukup. Hal yang pertama adalah membuat blog menjadi mapan. Butuh waktu lama bagi mesin pencari untuk menemukan blog anda atau blogger lain untuk merantai blog anda. Banyak blog yang memulai dengan baik, namun kemudian berakhir mengenaskan. “Blogging is easy, but isn’t good unless you have a plan and commit to it. It’s a writer’s medium,” cetus Dennis Kennedy, penulis, advokat asal St. Louis, serta pemilik blog denniskennedy.com.

Kennedy mengatakan, pada satu sisi internet tidak ada kaitannya dengan praktik hukum, tapi pada sisi lain internet adalah segala-galanya bagi praktik hukum. Internet membuka jangkauan komunikasi seorang advokat dengan memungkinkannya mengedukasi banyak orang serta berhubungan dengan klien, advokat lain, dan masyarakat umum, melampaui praktik hukum tradisional. Melalui kedigdayaan internet, kata Kennedy, advokat-blogger mengembangkan komunitas yaitu dengan membuat praktik hukum menjadi lebih efektif dan menyenangkan.

*) Penulis adalah alumnus Fakultas Hukum Universitas Indonesia, tulisan ini diambil dari situs hukumonline di www.hukumonline.com
Posted in: Berita Hukum

PERJANJIAN INTERNASIONAL SEBAGAI MODEL HUKUM BAGI PENGATURAN MASYARAKAT GLOBAL

PERJANJIAN INTERNASIONAL SEBAGAI MODEL HUKUM
BAGI PENGATURAN MASYARAKAT GLOBAL
(Menuju Konvensi ASEAN Sebagai Upaya Harmonisasi Hukum)
Oleh


EMAN SUPARMAN
Lektor Kepala Hukum Acara Perdata
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
Maret 2000
2
DAFTAR ISI
Halaman
I. PENDAHULUAN …………..…………………………. 1
II. PERJANJIAN INTERNASIONAL (Pengertian dan Jenisnya) 2
III. MODEL PEMBENTUKAN KAIDAH HUKUM UNTUK
MENJAWAB KEBUTUHAN PERKEMBANGAN MASYARAKAT
GLOBAL ………………………………………… 4
IV. KEKUATAN MENGIKAT PERJANJIAN INTERNASIONAL
TERHADAP NEGARA-NEGARA PIHAK KETIGA …….. 9
A. Pengertian Negara Pihak Ketiga ……………………….. 9
B. Kekuatan Mengikat Perjanjian Internasional Terhadap
Negara Pihak Ketiga …………………………………… 11
C. The Hague Convention 1971 dan Kepentingan Indonesia
Sebagai Negara Pihak Ketiga ………………………….. 14
V. HARMONISASI KAIDAH HUKUM DI ANTARA
NEGARA-NEGARA ASEAN SEBAGAI BENTUK KERJASAMA
SE-KAWASAN …………………………………. 23
VI. PERJANJIAN KERJASAMA BIDANG PERADILAN ANTARA
REPUBLIK INDONESIA DENGAN KERAJAAN
THAILAND TAHUN 1978 SEBAGAI MODEL KONVENSI
ASEAN ………………………………………………….. 25
VII. P E N U T U P ………………………………………….. 29
DAFTAR BACAAN ……………………………………. 31
3
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Akselerasi dalam berbagai aspek kehidupan telah mengubah "kehidupan
yang berjarak" menjadi "kehidupan yang bersatu". Implikasi dari kehidupan
yang bersatu inilah yang sekarang disebut sebagai globalisasi.1 Sekalian bangsa
di sudut manapun di dunia ini, sekarang sudah terhubung, terangkat, terkooptasi
ke dalam satu pola kehidupan. Satjipto Rahardjo,2 meminjam ungkapan
Wallerstein, menyatakan bahwa globalisasi adalah proses pembentukan sistem
kapitalis dunia yang telah membawa bangsa-bangsa di dunia terseret ke dalam
pembagian kerja ekonomi kapitalis. Terbentuknya institusi semacam WTO
(World Trade Organization), forum kerjasama ekonomi semacam APEC (Asia
Pacific Economic Cooperation), Eropa bersatu dalam EEC (European Economic
Council), dan lain-lain adalah beberapa contoh kecenderungan menyatunya pola
kehidupan dalam tatanan ekonomi kapitalis.
Tidak dapat dinafikan betapa batas-batas teritorial suatu negara nasional
kini tidak lagi menjadi penghalang bagi berbagai aktivitas ekonomi yang semakin
pesat. Demikian pula lahan beroperasinya pekerjaan hukum yang semakin
mendunia. Fenomena di atas, nyata sekali dengan berkembangnya penggunaan
istilah yang mengindikasikan dilampauinya batas-batas tradisional dan teritorial
nasional suatu negara, seperti istilah transnational corporation, transnational
capitalist class, transnational practices, transnational information exchange, the
international managerial bourgoisie, trans-state norms,3 dan lain-lain.
Dalam perkembangan kehidupan bersama manusia yang cenderung
semakin tidak mengenal batas negara ini, boleh jadi kesepakatan antar negaranegara
dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang dituangkan dalam bentuk
perjanjian internasional merupakan sumber hukum yang semakin penting.
Persoalannya, karena semakin banyak masalah transnasional yang memerlukan
pengaturan yang jangkauannya hanya mungkin dilakukan dengan instrumen
1 Lihat Satjipto Rahardjo, “Pembangunan Hukum di Indonesia dalam Konteks Situasi Global”;
dalam Kajian Masalah Hukum dan Pembangunan PERSPEKTIF; Volume 2 No. 2 Tahun
1997; Edisi Juli 1997; halaman 2.
2 Ibid.; halaman 1.
4
perjanjian internasional. Hal itu disebabkan perjanjian internasional sudah
berhasil menciptakan norma-norma hukum baru yang diperlukan untuk mengatur
hubungan antar negara dan antar masyarakat negara-negara yang volumenya
semakin besar, intensitasnya semakin kuat, dan materinya semakin kompleks.4
B. Permasalahan
Suasana perubahan menjadi global sebagaimana diuraikan di atas,
menginspirasi penulis untuk mengkaji beberapa masalah berikut ini: Pertama,
benarkah di Indonesia telah berlangsung proses nasionalisasi norma-norma hukum
internasional? Kedua, bagaimanakah proses nasionalisasi norma-norma hukum
internasional itu terjadi? Ketiga, benarkah globalisasi telah berimplikasi terhadap
instrumen dan bekerjanya hukum? Keempat, upaya-upaya konkrit macam apakah
yang seyogianya ditempuh dalam menghadapi kompleksitas perubahan akibat
proses globalisasi?