Jumat, 27 November 2009

Definisi hukum adat menurut para sarjana

Definisi hukum adat menurut para sarjana adalah sebagai berikut:

a. Van Vollenhoven menjelaskan bahwa hukum adat adalah Keseluruhan aturan tingkah laku positif yang di satu pihak mempunyai sanksi (oleh karena itu disebuthukum) dan di pihak lain dalam keadaan tidak dikodifikasikan (oleh karena itu disebut adat).

b. Bushar Muhammad menjelaskan bahwa untuk memberikan definisi hukum ada sulit sekali karena, hukum adat masih dalam pertumbuhan; sifat dan pembawaan hukum adat ialah:
- Tertulis atau tidak tertulis
- Pasti atau tidak pasti
- Hukum raja atau hukum rakyat dan sebagainya.

Sejarah Hukum Adat

Paling tidak ada tiga kategori periodesasi ketika berbicara tentang sejarah hukum Adat, yaitu:

a. Sejarah proses pertumbuhan atau perkembangan hukum Adat itu sendiri.

Peraturan adat istiadat kita ini pada hakikatnya sudah terdapat pada zaman pra Hindu. Adat istiadat tersebut merupakan adat Melayu. Lambat laun datang di kepulauan kita ini kultur Hindu, kemudian kultur Islam dan kultur Kristen yang masing-masing mempengaruhi kultur asli kita.

b. Sejarah hukum Adat sebagai sistem hukum dari tidak/belum dikenal hingga sampai dikenal dalam dunia ilmu pengetahuan.

Sebelum zaman Kompeni–sebelum 1602–tidak diketemukan catatan ataupun tidak terdapat perhatian terhadap hukum Adat. Dalam zaman Kompeni itulah baru bangsa Asing mulai menaruh perhatian terhadap adat istiadat kita.

c. Sejarah kedudukan hukum Adat sebagai masalah politik hukum di dalam sistem perundang-undangan di Indonesia.

Pada periode ini, setidaknya dapat kita bagi menjadi tiga bagian, yaitu: 
1) masa menjelang tahun 1848, 
2) pada tahun 1848 dan seterusnya, dan 
3) sejak tahun 1927, yaitu hukum Adat berganti haluan dari ‘unifikasi’ beralih ke ‘kodifikasi’.

Hak-Hak Masyarakat Adat dan Posisi Hukum Adat dalam Negara-Bangsa Indonesia

Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka yang harus dibedah lebih dulu adalah menyangkut posisi masyarakat adat dalam tatanan negara-bangsa Indonesia. Para pendiri negara-bangsa (nation-state) Indonesia sejak semula sudah menyadari bahwa negara ini adalah negara kepulauan yang majemuk. Semboyan "Bhinneka Tunggal Ika" secara filosofis menunjukkan penghormatan bangsa Indonesia atas kemajemukan atau keragaman sosial, budaya dan politik. Dengan semboyan ini para pendiri bangsa telah menempatkan masyarakat adat sebagai elemen dasar dalam struktur negara-bangsa (nation-state) Indonesia
Amandemen Kedua UUD 1945 pasal 18B poin (2) pada bab VI yang mengatur tentang pemerintahan daerah telah menegaskan bahwa: "Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip-prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-Undang". Pasal ini, walaupun untuk pelaksanaannya masing memerlukan UU, menempatkan komunitas-komunitas masyarakat adat dalam posisi yang kuat dan penting dalam kehidupan berbangsa-bernegara di Indonesia. Pasal ini merupakan landasan konstitusional bagi hak masyarakat adat untuk mengatur dirinya dan menegakkan hukum adatnya.

Hubungan hukum adat Indonesia dengan Pasal 28 (1)

Hubungan hukum adat Indonesia dengan pasal 28 (1) adalah bahwa hakim memenuhi kekosongan hukum, apabila hakim menambah peraturan - perundangan, maka hal ini berarti bahwa hakim memenuhi ruangan kosong dalam sistem hukum formal dari tata hukum yang berlaku.

Macam Hukum Adat Indonesia

Di Indonesia terdiri dari berbagai macam hukum adat yang diantaranya:

1. Masyarakat Hukum Territorial
2. Masyarakat Hukum Genealogis
3. Masyarakat Hukum Territorial – Genealogis
4. Masyarakat Hukum Adat – Keagamaan
5. Masyarakat Adat di Perantauan
6. Masyarakat Adat lainnya.

Definisi Hukum Adat

Definisi dari Hukum Adat menurut Prof. H. Hilman Hadikusuma adalah aturan kebiasaan manusia dalam hidup bermasyarakat. Kehidupan manusia berawal dari berkeluarga dan mereka telah mengatur dirinya dan anggotanya menurut kebiasaan, dan kebiasaan itu akan dibawa dalam bermasyarakat dan negara.

Kamis, 26 November 2009

Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 1993 Tanggal 27 Pebruari 1993





PENYAKIT YANG TIMBUL KARENA HUBUNGAN KERJA
Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 1993 Tanggal 27 Pebruari 1993
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


Menimbang:

Bahwa untuk lebih meningkatkan perlindungan terhadap tenaga kerja, Undang-undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja menetapkan perlunya pengaturan mengenai penyakit yang timbul karena hubungan kerja dengan Keputusan Presiden.

Mengingat:

1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja;
3. Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program
4. Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Lembaran Negara Tahun 1993 Nomor 20,
5. Tambahan Lembaran Negara Nomor 3520);


MEMUTUSKAN:

Menetapkan:
KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENYAKIT YANG TIMBUL KARENA HUBUNGAN KERJA.

Pasal 1

Penyakit yang timbul karena hubungan kerja adalah penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan atau lingkungan kerja.

Pasal 2

Setiap tenaga kerja yang menderita penyakit yang timbul karena hubungan kerja berhak mendapat jaminan Kecelakaan Kerja baik pada saat masih dalam hubungan kerja maupun setelah hubungan kerja berakhir.


Pasal 3

(1) Hak atas Jaminan Kecelakaan Kerja bagi tenaga kerja yang hubungan kerjanya telah berakhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 diberikan, apabila menurut hasil diagnosis dokter yang merawat penyakit tersebut diakibatkan oleh pekerjaan selama tenaga kerja yang bersangkutan masih dalam hubungan kerja.

(2) Hak jaminan kecelakaan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan, apabila penyakit tersebut timbul dalam waktu paling lama 3 (tiga) tahun terhitung sejak hubungan kerja tersebut berakhir.


Pasal 4

Penyakit yang timbul karena hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, sebagaimana tercantum dalam Lampiran Keputusan Presiden ini.

Pasal 5

Keputusan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.



Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 27 Pebruari 1993
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd.
SOEHARTO
Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT KABINET RI
Kepala Biro Hukum
dan perundang-undangan

ttd.
Bambang Kesowo, S.H., LL.M.

LEMBARAN LEPAS SEKRETARIAT NEGARATAHUN 1993




UNDANG-UNDANG KEPAILITAN


UNDANG-UNDANG KEPAILITAN -

UNDANG-UNDANG TENTANG PERKAWINAN

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU)

Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974)

Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA)

Sumber: LN 1974/1; TLN NO. 3019

Tentang: PERKAWINAN

Indeks: PERDATA. Perkawinan.

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA

Presiden Republik Indonesia,

Menimbang :

bahwa sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita untuk pembinaan hukum nasional, perlu adanya Undang-undang tentang Perkawinan yang berlaku bagi semua warga negara.

Mengingat :

1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945;

2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1973.

Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

MEMUTUSKAN :

Menetapkan:

UNDANG-UNDANG TENTANG PERKAWINAN.

BAB I

DASAR PERKAWINAN

Pasal 1

Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa.

Pasal 2

(1). Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.

(2). Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 3

(1). Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.

(2). Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh fihak-fihak yang bersangkutan.

Pasal 4

(1). Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya.

(2). Pengadilan dimaksud data ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila:

a. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;

b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;

c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

Pasal 5

(1). Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri;

b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka;

c. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.

(2). Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.

BAB II

SYARAT-SYARAT PERKAWINAN

Pasal 6

(1). Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.

(2). Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (duapuluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.

(3). Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.

(4). Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.

(5). Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini.

(6). Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.

Pasal 7

(1). Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.

(2). Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita.

(3). Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua tersebut dalam Pasal 6 ayat (3) dan (4) Undang-undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat (6).

Pasal 8

Perkawinan dilarang antara dua orang yang:

a. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah ataupun keatas;

b. berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;

c. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri menantu dan ibu/bapak tiri;

d. berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan;

e. berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang;

f. mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.

Pasal 9

Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut pada Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini.

Pasal 10

Apabila suami dan isteri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka diantara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.

Pasal 11

(1). Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu.

(2). Tenggang waktu jangka waktu tunggu tersebut ayat (1) akan diatur dalam Peraturan Pemerintah lebih lanjut.

Pasal 12

Tata-cara pelaksanaan perkawinan diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri.

BAB III

PENCEGAHAN PERKAWINAN

Pasal l3

Perkawinan dapat dicegah, apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.

Pasal 14

(1). Yang dapat mencegah perkawinan ialah para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dan kebawah, saudara, wali nikah, wali, pengampu dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang berkepentingan.

(2). Mereka yang tersebut pada ayat (1) pasal ini berhak juga mencegah berlangsungnya perkawinan apabila salah seorang dari calon mempelai berada di bawah pengampuan, sehingga dengan perkawinan tersebut nyata-nyata mengakibatkan kesengsaraan bagi calon mempelai yang lainnya, yang mempunyai hubungan dengan orang-orang seperti tersebut dalam ayat (1) pasal ini.

Pasal 15

Barang siapa karena perkawinan dirinya masih terikat dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan, dapat mencegah perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini.

Pasal 16

(1). Pejabat yang ditunjuk berkewajiban mencegah berlangsungnya perkawinan apabila ketentuan-ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 12 Undang-undang ini tidak dipenuhi.

(2). Mengenai Pejabat yang ditunjuk sebagaimana tersebut pada ayat (1) pasal ini diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan.

Pasal 17

(1). Pencegahan perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan akan dilangsungkan dengan memberitahukan juga kepada pegawai pencatat perkawinan.

(2). Kepada calon-calon mempelai diberi tahukan mengenai permohonan pencegahan perkawinan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini oleh pegawai pencatat perkawinan.

Pasal 18

Pencegahan perkawinan dapat dicabut dengan putusan Pengadilan atau dengan menarik kembali permohonan pencegahan pada Pengadilan oleh yang mencegah.

Pasal 19

Perkawinan tidak dapat dilangsungkan apabila pencegahan belum dicabut.

Pasal 20

Pegawai pencatat perkawinan tidak diperbolehkan melangsungkan atau membantu melangsungkan perkawinan bila ia mengetahui adanya pelanggaran dari ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 12 Undang-undang ini meskipun tidak ada pencegahan perkawinan.

Pasal 21

(1). Jika pegawai pencatat perkawinan berpendapat bahwa terhadap perkawinan tersebut ada larangan menurut Undang-undang ini, maka ia akan menolak melangsungkan perkawinan.

(2). Didalam hal penolakan, maka permintaan salah satu pihak yang ingin melangsungkan perkawinan. oleh pegawai pencatat perkawinan akan diberikan suatu keterangan tertulis dari penolakan tersebut disertai dengan alasan-alasan penolakannya.

(3). Para pihak yang perkawinannya ditolak berhak mengajukan permohonan kepada pengadilan didalam wilayah mana pegawai pencatat perkawinan yang mengadakan penolakan berkedudukan untuk memberikan keputusan, dengan menyerahkan surat keterangan penolakan tersebut diatas.

(4). Pengadilan akan memeriksa perkaranya dengan acara singkat dan akan memberikan ketetapan, apakah ia akan menguatkan penolakan tersebut ataukah memerintahkan, agar supaya perkawinan dilangsungkan.

(5). Ketetapan ini hilang kekuatannya, jika rintangan-rintangan yang mengakibatkan penolakan tersebut hilang dan para pihak yang ingin kawin dapat mengulangi pemberitahuan tentang maksud mereka.

BAB IV

BATALNYA PERKAWINAN

Pasal 22

Perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.

Pasal 23

Yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan yaitu :

a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami atau isteri;

b. Suami atau isteri;

c. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan;

d. Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) Pasal 16 Undang-undang ini dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.

Pasal 24

Barang siapa karena perkawinan masih terikat dirinya dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini.

Pasal 25

Permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan dilangsungkan atau ditempat tinggal kedua suami isteri, suami atau isteri.

Pasal 26

(1). Perkawinan yang dilangsungkan dimuka pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali-nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami atau isteri, jaksa dan suami atau isteri.

(2). Hak untuk membatalkan oleh suami atau isteri berdasarkan alasan dalam ayat (1) pasal ini gugur apabila mereka telah hidup bersama sebagai suami isteri dan dapat memperlihatkan akte perkawinan yang dibuat pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang dan perkawinan harus diperbaharui supaya sah.

Pasal 27

(1). Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum.

(2). Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau isteri.

(3). Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu menyadari keadaannya, dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami isteri, dan tidak mempergunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur.

Pasal 28

(1). Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan Pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan.

(2). Keputusan tidak berlaku surut terhadap :

a. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;

b. Suami atau isteri yang bertindak dengan iktikad baik, kecuali terhadap harta bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu;

c. Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam a dan b sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan iktikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap.

BAB V

PERJANJIAN PERKAWINAN

Pasal 29

(1). Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.

(2). Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.

(3). Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.

(4). Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.

BAB VI

HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTERI

Pasal 30

Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.

Pasal 31

(1). Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.

(2). Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.

(3). Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga.

Pasal 32

(1). Suami isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap.

(2). Rumah tempat kediaman yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini ditentukan oleh suami isteri bersama.

Pasal 33

Suami isteri wajib saling cinta-mencintai hormat-menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain.

Pasal 34

(1). Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.

(2). Isteri wajib mengatur urusan rumah-tangga sebaik-baiknya.

(3). Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugutan kepada Pengadilan.

BAB VII

HARTA BENDA DALAM PERKAWINAN

Pasal 35

(1). Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.

(2). Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

Pasal 36

(1). Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.

(2). Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.

Pasal 37

Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.

BAB VIII

PUTUSNYA PERKAWINAN SERTA AKIBATNYA

Pasal 38

Perkawinan dapat putus karena :

a. kematian,

b. perceraian dan

c. atas keputusan Pengadilan.

Pasal 39

(1). Perceraian hanya dapat dilakukan didepan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

(2). Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri.

(3). Tatacara perceraian didepan sidang Pengadilan diatur dalam peraturan perundangan tersendiri.

Pasal 40

(1). Gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan.

(2). Tatacara mengajukan gugatan tersebut pada ayat (1) pasal ini diatur dalam peraturan perundangan tersendiri.

Pasal 41

Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah :

a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya;

b. Bapak yang bertanggung-jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut;

c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.

BAB IX

KEDUDUKAN ANAK

Pasal 42

Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.

Pasal 43

(1). Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.

(2). Kedudukan anak tersebut ayat (1) diatas selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 44

(1). Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh isterinya, bilamana ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah berzina dan anak itu akibat daripada perzinaan tersebut.

(2). Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas permintaan pihak yang berkepentingan.

BAB X

HAK DAN KEWAJIBAN ANTARA ORANG TUA DAN ANAK

Pasal 45

(1). Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.

(2). Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.

Pasal 46

(1). Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendak mereka yang baik.

(2). Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya, orang tua dan keluarga dalam garis lurus keatas, bila mereka itu memerlukan bantuannya.

Pasal 47

(1). Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada dibawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya.

(2). Orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum didalam dan diluar Pengadilan.

Pasal 48

Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 (delapan betas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya.

Pasal 49

(1). Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus keatas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang, dengan keputusan Pengadilan dalam hal-hal :

a. la sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya;

b. la berkelakuan buruk sekali.

(2). Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih tetap berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anak tersebut.

BAB XI

PERWALIAN

Pasal 50

(1). Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua, berada dibawah kekuasaan wali.

(2). Perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya.

Pasal 51

(1). Wali dapat ditunjuk oleh satu orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua, sebelum ia meninggal, dengan surat wasiat atau dengan lisan di hadapan 2 (dua) orang saksi.

(2). Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik.

(3). Wali wajib mengurus anak yang dibawah penguasaannya dan harta bendanya sebaik-baiknya, dengan menghormati agama dan kepercayaan anak itu.

(4). Wali wajib membuat daftar harta benda anak yang berada dibawah kekuasaannya pada waktu memulai jabatannya dan mencatat semua perubahan-perubahan harta benda anak atau anak-anak itu.

(5). Wali bertanggung-jawab tentang harta benda anak yang berada dibawah perwaliannya serta kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan atau kelalaiannya.

Pasal 52

Terhadap wali berlaku juga Pasal 48 Undang-undang ini.

Pasal 53

(1). Wali dapat dicabut dari kekuasaannya, dalam hal-hal yang tersebut dalam Pasal 49 Undang-undang ini.

(2). Dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini, oleh Pengadilan ditunjuk orang lain sebagai wali.

Pasal 54

Wali yang telah menyebabkan kerugian kepada harta benda anak yang dibawah kekuasaannya, atas tuntutan anak atau keluarga anak tersebut dengan Keputusan Pengadilan, yang bersangkutan dapat diwajibkan untuk mengganti kerugian tersebut.

BAB XII

KETENTUAN-KETENTUAN LAIN

Bagian Pertama

Pembuktian asal-usul anak

Pasal 55

(1). Asal-usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akte kelahiran yang autentik, yang dikeluarkan oleh Pejabat yang berwenang.

(2). Bila akte kelahiran tersebut dalam ayat (1) pasal ini tidak ada, maka Pengadilan dapat mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang anak setelah diadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi syarat.

(3). Atas dasar ketentuan Pengadilan tersebut ayat (2) pasal ini, maka instansi pencatat kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan yang bersangkutan mengeluarkan akte kelahiran bagi anak yang bersangkutan.

Bagian Kedua

Perkawinan diluar Indonesia

Pasal 56

(1). Perkawinan yang dilangsungkan diluar Indonesia antara dua orang warganegara Indonesia atau seorang warganegara Indonesia dengan warganegara Asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara dimana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi warganegara Indonesia tidak melanggar ketentuan-ketentuan Undang-undang ini.

(2). Dalam waktu 1 (satu) tahun setelah suami isteri itu kembali diwilayah Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di Kantor Pencatatan Perkawinan tempat tinggal mereka.

Bagian Ketiga

Perkawinan Campuran

Pasal 57

Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.

Pasal 58

Bagi orang-orang yang berlainan kewarganegaraan yang melakukan perkawinan campuran, dapat memperoleh kewarganegaraan dari suami/isterinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraannya, menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam Undang-undang kewarganegaraan Republik Indonesia yang berlaku.

Pasal 59

(1). Kewarganegaraan yang diperoleh sebagai akibat perkawinan atau putusnya perkawinan menentukan hukum yang berlaku, baik mengenai hukum publik maupun mengenai hukum perdata.

(2). Perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia dilakukan menurut Undang-undang Perkawinan ini.

Pasal 60

(1). Perkawinan campuran tidak dapat dilangsungkan sebelum terbukti bahwa syarat-syarat perkawinan yang ditentukan oleh hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing telah dipenuhi.

(2). Untuk membuktikan bahwa syarat-syarat tersebut dalam ayat (1) telah dipenuhi dan karena itu tidak ada rintangan untuk melangsungkan perkawinan campuran, maka oleh mereka yang menurut hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing berwenang mencatat perkawinan, diberikan surat keterangan bahwa syarat-syarat telah dipenuhi.

(3). Jika pejabat yang bersangkutan menolak untuk memberikan surat keterangan itu, maka atas permintaan yang berkepentingan, Pengadilan memberikan keputusan dengan tidak beracara serta tidak boleh dimintakan banding lagi tentang soal apakah penolakan pemberian surat keterangan itu beralasan atau tidak.

(4). Jika Pengadilan memutuskan bahwa penolakan tidak beralasan, maka keputusan itu menjadi pengganti keterangan yang tersebut ayat (3).

(5). Surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak mempunyai kekuatan lagi jika perkawinan itu tidak dilangsungkan dalam masa 6 (enam) bulan sesudah keterangan itu diberikan.

Pasal 61

(1). Perkawinan campuran dicatat oleh pegawai pencatat yang berwenang.

(2). Barang siapa melangsungkan perkawinan campuran tanpa memperlihatkan lebih dahulu kepada pegawai pencatat yang berwenang surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan yang disebut dalam Pasal 60 ayat (4) Undang-undang ini dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 1 (satu) bulan.

(3). Pegawai pencatat perkawinan yang mencatat perkawinan sedangkan ia mengetahui bahwa keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak ada, dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan dan dihukum jabatan.

Pasal 62

Dalam perkawinan campuran kedudukan anak diatur sesuai dengan Pasal 59 ayat (1) Undang-undang ini.

Bagian Keempat

Pengadilan

Pasal 63

(1). Yang dimaksud dengan Pengadilan dalam Undang-undang ini ialah :

a. Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam;

b. Pengadilan Umum bagi lainnya.

(2). Setiap Keputusan Pengadilan Agama dikukuhkan oleh Pengadilan Umum.

BAB XIII

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 64

Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang terjadi sebelum Undang-undang ini berlaku yang dijalankan menurut peraturan-peraturan lama, adalah sah.

Pasal 65

(1). Dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang baik berdasarkan hukum lama maupun berdasarkan Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini maka berlakulah ketentuan-ketentuan berikut :

a. Suami wajib memberi jaminan hidup yang sama kepada semua isteri dan anaknya;

b. Isteri yang kedua dan seterusnya tidak mempunyai hak atas harta bersama yang telah ada sebelum perkawinan dengan isteri kedua atau berikutnya itu terjadi;

c. Semua isteri mempunyai hak yang sama atas harta bersama yang terjadi sejak perkawinannya masing-masing.

(2). Jika Pengadilan yang memberi izin untuk beristeri lebih dari seorang menurut Undang-undang ini tidak menentukan lain, maka berlakulah ketentuan-ketentuan ayat (1) pasal ini.

B A B XIV

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 66

Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-undang ini, maka dengan berlakunya Undang-undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonantie Christen Indonesiers S.1933 No. 74), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijken S. 1898 No. 158), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 67

(1). Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkannya, yang pelaksanaannya secara efektif lebih lanjut akan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

(2). Hal-hal dalam Undang-undang ini yang memerlukan pengaturan pelaksanaan, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta

pada tanggal 2 Januari 1974.

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

SOEHARTO

JENDERAL TNI.

Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 2 Januari 1974

MENTERI/SEKRETARIS NEGARA

REPUBLIK INDONESIA,

SUDHARMONO, SH.

MAYOR JENDERAL TNI.

UNDANG-UNDANG TENTANG PERFILMAN

DRAFT

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR ......... TAHUN ..........

TENTANG

PERFILMAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA



Menimbang:

1. bahwa film merupakan perwujudan jatidiri bangsa mempunyai peranan penting bagi pengembangan dan ketahanan serta perekat budaya bangsa;
2. bahwa film sebagai perekat budaya bangsa perlu mengangkat dan melestarikan budaya daerah;
3. bahwa perfilman Indonesia sebagai salah satu bentuk industri budaya perlu dikembangkan melalui peran serta aktif seluruh komponen bangsa baik pemerintah,
4. swasta, maupun masyarakat untuk terciptanya industri film Indonesia yang kokoh dan mampu bersaing di dalam maupun di luar negeri;
5. bahwa industri perfilman Indonesia mempunyai peranan penting untuk memperluas lapangan kerja dan memeratakan kesempatan berusaha yang mendukung kesejahteraan masyarakat, memerlukan perangkat hukum dan upaya yang lebih memadai bagi pengembangan perfilman Indonesia;
6. bahwa Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman tidak sesuai lagi dengan keadaan dan kebutuhan pengembangan perfilman Indonesia;
7. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, c, d, dan e perlu penyempurnaan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman.



Mengingat :

Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 20 ayat (1), ayat (2), ayat (4) dan ayat (5); Pasal 21 ayat (1); Pasal 28C ayat (1) dan ayat (2); Pasal 28J ayat (1) dan ayat (2); Pasal 32; Pasal 33 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Dasar 1945.



Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

dan

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERFILMAN

BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1


Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan

1. Film adalah karya cipta seni budaya yang merupakan media komunikasi pandang-dengar yang dibuat berdasarkan asas sinematografi dengan direkam pada pita seluloid, pita video, piringan video, dan/atau bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam segala bentuk, jenis, dan ukuran melalui proses kimiawi, proses elektronik, atau proses lainnya, dengan atau tanpa suara, yang dapat dipertunjukkan dan/atau ditayangkan;
2. Perfilman adalah salah satu bentuk industri budaya yang berhubungan dengan seluruh kegiatan pembuatan, jasa teknik, pengeksporan, pengimporan, pengedaran, pertunjukan, penayangan dan apresiasi film;
3. Pembuatan film adalah suatu pekerjaan pembuatan film untuk menghasilkan film cerita maupun film non cerita untuk dipertunjukan di gedung bioskop maupun ditempat lainnya atau ditayangkan melalui media elektronik
4. Jasa Teknik film adalah penyediaan jasa tenaga profesi, dan/atau peralatan yang diperlukan dalam proses pembuatan film serta usaha pembuatan rekaman video
5. Ekspor film adalah kegiatan untuk mengirim, menjual, memperdagangkan, mengedarkan, mendistribusikan film dalam bentuk apapun baik cerita maupun non cerita dari Indonesia ke luar negeri
6. Impor film adalah kegiatan untuk memasukkan, mendatangkan film dalam bentuk apapun dari luar negeri ke wilayah negara Indonesia
7. Pengedaran film adalah kegiatan penyebarluasan film seluloid dan rekaman video kepada konsumen
8. Pertunjukan film adalah pemutaran film seluloid yang dilakukan melalui proyektor mekanik dalam gedung bioskop atau tempat yang diperuntukkan bagi pertunjukan film atau tempat umum lainnya
9. Penayangan film adalah pemutaran film seluloid dan rekaman video yang dilakukan melalui proyektor elektronik dari stasion pemancaran dan/ atau perangkat elektronik lainnya
10. Penyensoran film adalah penelitian, penilaian dan pemeriksaan terhadap film dan sarana promosi film untuk menentukan dapat tidaknya sebuah film dipertunjukan atau ditayangkan kepada umum dan ditayangkan melalui media elektronik, baik secara utuh maupun setelah peniadaan gambar atau suara yang bertentangan dengan asas kesusilaan yang berlaku dimasyarakat
11. Pengklasifikasian film adalah penelitian, penilaian dan pemeriksaan terhadap film dan sarana promosi film yang akan dipertunjukkan dibioskop untuk menentukan kelompok usia penonton
12. Apresiasi film adalah penilaian dan penghargaan yang baik terhadap suatu karya film
13. Menteri adalah Menteri yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang perfilman.


BAB II ASAS DAN TUJUAN
Pasal 2

Penyelenggaraan perfilman di Indonesia dilaksanakan berdasarkan asas manfaat, asas kemandirian, asas profesionalitas, asas akuntabilitas publik, asas kebebasan berkreasi, dan asas kebhinekaan dalam persatuan.

Pasal 3

Penyelenggaraan perfilman bertujuan

1. melestarikan dan mengembangkan nilai budaya bangsa;
2. membangun watak, jatidiri, kepribadian, dan meningkatkan harkat serta martabat bangsa;
3. mengembangkan potensi, meningkatkan kreatifitas dan kualitas di bidang perfilman;
4. menyajikan hiburan yang sehat sesuai dengan norma-norma kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara;
5. meningkatkan kesejahteraan rakyat;
6. mendorong pertumbuhan dan perkembangan usaha perfilman sebagai industri budaya;
7. meningkatkan perekonomian nasional;
8. promosi Indonesia di dunia internasional.


BAB III FUNGSI DAN LINGKUP
Pasal 4

Film mempunyai fungsi pelestarian dan pengembangan nilai budaya, hiburan, informasi, pendidikan, perekat budaya, kritik sosial dan ekonomi.

Pasal 5

Lingkup Undang-Undang ini meliputi seluruh film, kecuali film berita yang ditayangkan melalui media elektronik.

Pasal 6 .

1. Film merupakan karya cipta Seni budaya yang dilindungi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang bedaku.
2. Film terkait kewajiban serah simpan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.



BAB IV USAHA PERFILMAN Bagian Pertama Umurn

Pasal 7

1. Usaha perfilman dilaksanakan oleh badan usaha yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia
2. Jenis Usaha perfilman sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi



1. pembuatan film dan sarana promosi film;
2. jasa teknik film;
3. ekspor film;
4. impor film;
5. pengedaran film;
6. pertunjukan film;
7. penayangan film; dan
8. penjualan dan penyewaan film.

3. Jenis usaha perfilman selain sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Menteri.


Pasal 8

1. Perusahaan Perfilman didirikan dengan modal awal yang seluruhnya dimiliki oleh warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia.
2. Perusahaan Perfilman sebagaimana diatur dalam ayat (1) dapat melakukan penambahan dan pengembangan dalam rangka pemenuhan modal yang berasal dari modal asing, yang jumlahnya tidak lebih dari 40% (empat puluh per seratus) dari seluruh modal dan minimum dimiliki oleh 2 (dua) pemegang saham.

Pasal 9

1. Penyelenggaraan kegiatan usaha perfilman yang dilaksanakan oleh badan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) harus memiliki izin usaha perfilman.
2. Izin usaha perfilman berlaku selama badan usaha yang bersangkutan masih melakukan kegiatan usaha di bidang perfilman.
3. Ketentuan mengenai syarat dan tata cara untuk memperoleh izin usaha perfilman diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.

Pasal 10

Usaha perfilman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dilakukan dengan memperhatikan kode etik yang disusun dan ditetapkan oleh masyarakat perfilman sesuai dengan asas dan tujuan penyelenggaraan perfilman.

Pasal 11

1. Dalam melakukan kegiatan usahanya, perusahaan perfilman wajib mengutamakan penggunaan kemampuan nasional yang telah tersedia.
2. Dalam usaha perfilman tidak dibenarkan adanya praktek monopoli yang bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Bagian Kedua

Pembuatan Film

Pasal 12

Pembuatan film didasarkan atas asas kebebasan berkarya dan dilakukan sesuai dengan arah dan tujuan penyelenggaraan perfilman dengan memperhatikan nilai-nilai etika dan moral, budaya bangsa, harkat dan martabat manusia, agama, ketertiban umum dan rasa kesusilaan.

Pasal 13

1. Pembuatan film hanya dapat dilakukan oleh perusahaan perfilman yang memiliki izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1).
2. Pembuatan film oleh pihak asing yang menggunakan lokasi di Indonesia dapat dilakukan berdasarkan izin Menteri.
3. Syarat dan tata cara untuk pembuatan film sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.

Pasal 14

Ketentuan memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) tidak berlaku bagi

1. Pembuatan film untuk tujuan khusus;
2. Pembuatan film dengan tujuan apresiasi, eksperimental dan sejenisnya;

Pasal 15

1. Perusahaan Perfilman Indonesia dapat melakukan kerjasama dengan perusahaan perfilman asing berdasarkan izin Menteri.
2. Kerjasama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi kerjasama dalam pembuatan film, penyediaan jasa tertentu di bidang teknik film, serta penggunaan aktris dan aktor serta pekerja kreatif film.

Pasal 16

1. Pembuatan sarana promosi film dapat dilakukan, baik oleh perusahaan pembuatan film atau perusahaan yang bergerak di bidang pembuatan sarana promosi film.
2. Pembuatan sarana promosi film dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 serta wajib memperhatikan kesesuaiannya dengan isi film yang dipromosikan.

Pasal 17

1. Dalam pembuatan film, aktor dan aktris serta pekerja kreatif film berhak mendapatkan perlindungan hukum yang diatur dengan perjanjian kerja yang dibuatnya dengan perusahaan pembuatan film.
2. Hal-hal yang pokok* wajib dicantumkan dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri.

(') Hal-hal pokok yang dimaksud

1. Asuransi

2. Jam kerja

3. Royalty

4. Keamanan kerja.

5. Kesehatan kerja.

Bagian Ketiga

Jasa Teknik Film

Pasal 18

Usaha jasa teknik film hanya dapat dilakukan oleh perusahaan perfilman yang memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1).

Pasal 19

Usaha jasa teknik film sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 meliputi

1. studio pengambilan gambar;
2. sarana pembuatan film;
3. laboratorium pengolahan film;
4. sarana penyuntingan film;
5. sarana pengisian suara film;
6. sarana pemberian teks film;
7. sarana pencetakan/penggandaan film; dan
8. sarana lain yang mendukung pembuatan film.

Bagian Keempat

Ekspor Film

Pasal 20

1. Usaha ekspor film dapat dilakukan oleh perusahaan ekspor film atau perusahaan pembuatan film untuk produksinya sendiri atau perusahaan pengedar film yang memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1).
2. Usaha ekspor film dilakukan melalui tempat kedudukan lembaga yang bertugas menyensor dan mengklasifikasikan film.
3. Tata cara ekspor film diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.

Bagian Kelima

Impor Film


Pasal 21

Usaha impor film hanya dapat dilakukan oleh perusahaan impor film yang memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1).

Pasal 22

1. Film impor isinya wajib memperhatikan tata hilai dan norma-norma yang berlaku di Indonesia.
2. Film impor wajib diberi teks bahasa Indonesia.

Pasal 23

Film impor dilarang disulih suarakan ke dalam bahasa Indonesia kecuali film impor yang diperuntukkan untuk pendidikan dan penelitian.

Pasal 24

Impor film dilakukan melalui kantor pabean di tempat kedudukan lembaga yang bertugas melakukan penyensoran dan pengklasifikasian film.

Pasal 25

1. Film yang dimasukkan ke Indonesia oleh perwakilan diplomatik atau badan-badan internasional yang diakui Pemerintah, hanya diperuntukkan bagi kepentingan perwakilan yang bersangkutan.
2. Film sebagaimana dimaksud ayat (1) apabila hendak dipertunjukkan dan atau ditayangkan kepada umum atas izin Menteri.
3. Film yang dimasukkan ke Indonesia untuk tujuan khusus hanya dapat dilakukan atas izin Menteri.
4. Ketentuan mengenai pemasukan film, syarat, dan tata cara perizinan pertunjukan dan/atau penayangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dan ayat (3), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.

Bagian Keenam

Pengedaran Film

Pasal 26

Film Indonesia sebagai bagian dari produk budaya perlu mendapatkan perlakukan khusus dalam peredarannya.

Pasal 27

Usaha pengedaran film hanya dapat dilakukan oleh perusahaan pengedar film dan perusahaan pembuatan film untuk produksnya sendiri yang memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1).

Pasal 28

Film yang dapat diedarkan hanya film yang telah dinyatakan layak untuk dipertunjukkan dan/atau ditayangkan sesuai dengan keputusan lembaga yang bertugas melakukan penyensoran dan pengklasifikasian film.

Pasal 29

1. Kegiatan pengedaran film dilakukan dengan memperhatikan nilai-nilai keagamaan dan sosial budaya yang hidup di kalangan masyarakat daerah yang bersangkutan.
2. Pengaturan mengenai pengedaran film sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.

Bagian Ketujuh

Pertunjukan dan Penayangan Film

Pasal 30

Usaha pertunjukan dan penayangan film dilakukan oleh perusahaan pertunjukan atau perusahaan penayangan film yang memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1).

Pasal 31

1. Pertunjukan film hanya dapat dilakukan dalam gedung atau tempat yang diperuntukkan bagi pertunjukan film.
2. Film yang dipertunjukkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sudah diklasifikasi oleh lembaga yang berwenang melalukan pengklasifikasian film
3. Pertunjukan film, selain di gedung atau tempat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ayat (2), hanya dapat dilakukan untuk tujuan tertentu.
4. Ketentuan lebih lanjut mengenai pertunjukan film sebagaimana dimaksud dengan ayat (1),ayat (2), dan ayat (3) diatur oleh Peraturan Menteri.

Pasal 32

1. Penayangan film dapat dilakukan oleh perusahaan dan/atau komunitas melalui perangkat elektronik.
2. Penayangan film sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh perusahaan yang mempunyai izin sebagaimana dimaksud Pasal 9 ayat (1).
3. Film yang ditayangkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan (2) sudah lulus sensor dari lembaga yang berwenang melakukan penyensoran film.
4. Ketentuan lebih lanjut mengenai penayangan melalui media elektronik diatur oleh Peraturan Menteri.

Pasal 33

1. Pertunjukan film sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2), dilakukan dengan memperhatikan ketentuan penggolongan usia penonton yang telah ditetapkan bagi film yang bersangkutan.
2. Penayangan film sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dan ayat (2), dilakukan dengan memperhatikan ketentuan penggolongan usia penonton.

Pasal 34

Pertunjukan dan penayangan trailer film selain memperhatikan ketentuan Pasal 31 dan Pasal 32, harus memperhatikan kesesuaiannya dengan isi film yang dipromosikan.

Pasal 35

1. Film yang ternyata menimbulkan gangguan terhadap keamanan, ketertiban, ketentraman, atau keselarasan hidup di masyarakat dapat ditarik dari peredaran.
2. Produser atau pemilik film yang terkena tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat melakukan pembelaan melalui jalur hukum.
3. Penarikan film sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh Menteri, setelah mendengar pertimbangan dan saran tertulis dari badan yang berfungsi memberikan pertimbangan dan saran dalam masalah perfilman.

Pasal 36

Apabila suatu film menimbulkan gangguan keamanan, ketertiban, ketenteraman, atau keselarasan kehidupan masyarakat di daerah tertentu, pemerintah daerah dapat melarang film tersebut diedarkan, dipertunjukkan dan/atau ditayangkan diseluruh atau sebagian wilayah administratifnya setelah terlebih dahulu mendapat pertimbangan dari instansi yang terkait.

Bagian Kedelapan

Penjualan dan Penyewaan Film


Pasal 37

1. Usaha penjualan dan penyewaan film dalam bentuk pita video, vcd, dvd, dan hasil teknologi lainnya dilakukan di toko video.
2. Rekaman video dalam bentuk pita video, vcd, dvd, dan hasil teknologi lainnya yang dijual dan/atau disewakan harus sudah dinyatakan lulus sensor oleh lembaga yang bertugas dan melakukan pengklasifikasian film dan digandakan oleh usaha jasa teknik yang telah mendapatkan lzin Usaha Perfilman.
3. Tata cara memperoleh izin usaha penjualan dan penyewaan diatur oleh Menteri.

BAB V

PENYENSORAN DAN PENGKLASIFIKASIAN FILM

Pasal 38

1. Setiap film dan sarana promosi film yang akan diedarkan, dipertunjukkan, dan/atau ditayangkan wajib disensor atau diklasifikasikan.
2. Penyensoran film dilakukan dengan pemotongan dan penghapusan.
3. Pengklasifikasian film dilakukan tanpa pemotongan dan penghapusan.

Bagian Pertama

Penyensoran Film

Pasal 39

1. Penyensoran berlaku bagi film yang akan ditayangkan melalui lembaga penyiaran televisi dan/atau usaha penjualan dan penyewaan untuk umum.
2. Penyensoran sebagaimana dimaksud ayat (1), meliputi gambar, suara dan atau teks (subtitling) serta sulih suara dari suatu film dan sarana promosi suatu film.
3. Ketentuan mengenai penyensoran film sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.

Pasal 40

1. Penyensoran film sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) dapat mengakibatkan sebuah film
1. diluluskan sepenuhnya;
2. dipotong bagian gambar tertentu;
3. ditiadakan suara tertentu;
4. ditolak seutuhnya;

untuk diedarkan dan/atau ditayangkan.

2. Film yang sudah lulus sensor sebagaimana dimaksud ayat (1) ditetapkan sesuai batas usia penonton sebagai berikut

1. semua umur;

2. remaja (bimbingan orang tua);
3. dewasa.

3. Film, sarana promosi film atau potongannya yang ditolak oleh lembaga yang berwenang, dilarang diedarkan, diekspor, dipertunjukan, dan/atau ditayangkan kecuali untuk kepentingan penelitian dan/atau penegakan hukum.

4. Terhadap film yang ditolak seutuhnya sebagaimana dimaksud ayat (2), dapat diajukan kembali setelah direvisi oleh pemilik untuk selanjutnya disensor kembali oleh lembaga yang berwenang atau dikembalikan ke negara asal.

Bagian Kedua

Pengklasifikasian Film

Pasal 41

1. Pengklasifikasian berlaku bagi film yang akan dipertunjukkan di bioskop.
2. Pengklasifikasian film sebagaimana dimaksud ayat (1) meliputi gambar, suara dan atau teks (subtitling) serta sulih suara dari suatu film dan sarana promosi suatu film.
3. Ketentuan mengenai pengklasifikasian film sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), (2) dan (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.

Pasal 42

1. Klasifikasi film sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) ditetapkan sesuai batas usia penonton sebagai berikut
1. semua umur;
2. 13 tahun keatas;
3. 17 tahun keatas;
4. 21 tahun keatas.
2. Film yang tidak lulus klasifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat mengakibatkan film tersebut ditolak seutuhnya.
3. Terhadap film yang ditolak seutuhnya sebagaimana dimaksud ayat (2), dapat diajukan kembali setelah direvisi oleh pemilik untuk selanjutnya diklasifikasi oleh lembaga yang berwenang atau dikembalikan ke negara asal.

Pasal 43

1. Film dan sarana promosi film yang telah diklasifikasi diberi tanda lulus klasifikasi.
2. Terhadap film yang ditolak oleh lembaga yang berwenang, perusahaan film atau pemilik film dapat mengajukan keberatan atau pembelaan kepada badan yang berfungsi memberikan pertimbangan dalam masalah perfilman.

Pasal 44

1. Untuk penyelenggaran penyensoran dan pengklasifikasian film dibentuk Lembaga Sensor dan Klasifikasi Film.
2. Lembaga Sensor dan Klasifikasi Film sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) selanjutnya disebut LSKF.
3. Lembaga sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) berada di ibu kota negara dan bersifat nasional.
4. Di Ibukota Propinsi dapat dibentuk lembaga yang bertugas menyensor dan mengklasifikasikan film hasil produksi di wilayahnya, berdasarkan pertimbangan lembaga sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
5. Pembentukan, kedudukan, susunan keanggotaan, tugas, fungsi lembaga yang berwenang menyensor dan mengklasifikasikan film, serta pedoman dan kriteria penyensoran dan pengklasifikasian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

BAB VI

PERAN SERTA MASYARAKAT

Pasal 45

1. Setiap warga negara Indonesia mempunyai hak yang sama dan kesempatan yang seluas-luasnya untuk berperanserta dalam berkreasi, berkarya, dan berusaha di bidang perfilman.
2. Dalam rangka mewujudkan peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), masyarakat dapat membentuk organisasi perfilman.

BAB VII

PENGEMBANGAN PERFILMAN

Bagian Pertama

Pengembangan Profesi dan Pendidikan

Pasal 46

1. Pemerintah bersama-sama masyarakat menyelenggarakan berbagai kegiatan di bidang profesi perfilman.
2. Profesi film sebagaimana dimaksud ayat (1), terdiri dari pekerja kreatif, pekerja teknik, aktor dan aktris film.
3. Profesi film sebagaimana dimaksud ayat (1) dan (2), wajib memiliki standar kompetensi profesi.

Pasal 47

1. Pemerintah bersama-sama masyarakat menyelenggarakan pendidikan perfilman dalam rangka pengembangan perfilman untuk memenuhi kebutuhan tenaga ahli dan tenaga terampil di bidang perfilman.
2. Penyelenggaraan pendidikan tenaga perfilman sebagaimana dimaksud ayat (1), merupakan bagian dari Sistem Pendidikan Nasional.

Bagian Kedua

Pengembangan Sarana dan Prasarana

Pasal 48

1. Pemerintah memfasilitasi sarana dan prasarana yang bermanfaat bagi pengembangan perfilman nasional.
2. Dalam menyelenggarakan pengembangan perfilman sebagaimana dimaksud ayat (1), pemerintah berupaya untuk:
1. mewujudkan iklim usaha yang mampu meningkatkan kemampuan produksi dan mutu perfilman;
2. menghindarkan persaingan yang tidak sehat dan mencegah timbulnya pemusatan dan penguasaan usaha perfilman pada satu tangan atau satu kelompok yang merugikan usaha dan perkembangan perfilman pada umumnya;
3. melindungi pertumbuhan dan perkembangan perfilman Indonesia dalam arti yang seluas-luasnya;
4. menjaga agar perkembangan perfilman Indonesia dapat tetap berjalan sesuai dengan tujuan dan penyelenggaraan perfilman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3;
5. meningkatkan apresiasi film di kalangan masyarakat;
6. mempromosikan film Indonesia di luar negeri; dan
7. meningkatkan peranan pengarsipan dan kepustakaan film.

Pasal 49

1. Dalam rangka mendorong pengembangan perfilman, pemerintah, pemerintah propinsi dan kabupaten/kota wajib menyisihkan sebagian pendapatan yang diperoleh dari pajak pertunjukan film di bioskop, penayangan film di televisi, peredaran serta penjualan dan penyewaan film.
2. Tata cara pengelolaan pendapatan sebagaimana dimaksud ayat (1), diatur sesuai ketentuan perundangan yang berlaku.

Pasal 50

1. Dalam rangka pengembangan perfilman nasional, pemerintah membentuk lembaga yang berperan memberikan pertimbangan dan bekerjasama dengan pemerintah menyelenggarakan
1. kegiatan peningkatan profesionalisme bidang perfilman.
2. festival film, baik di dalam maupun di luar negeri.
3. kajian dan pengarsipan di bidang perfilman.
2. Susunan keanggotaan lembaga sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), terdiri dari unsur pemerintah, masyarakat perfilman, dan para ahli di bidangnya.
3. Ketentuan mengenai pembentukan, kedudukan, tugas, fungsi, dan susunan keanggotaan lembaga sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

BAB VIII

PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN

Pasal 51

1. Pembagian urusan pemerintahan di bidang perfilman dilaksanakan sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku.
2. Ketentuan lebih lanjut mengenai pembagian urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

BAB IX

PENYIDIKAN

Pasal 52

1. Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, juga Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan departemen yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pembinaan perfilman diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perfilman sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
2. Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), berwenang
1. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perfilman;
2. melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang perfilman;
3. meminta keterangan dan bukti dari orang atau badan sehubungan dengan peristiwa tindak pidana di bidang perfilman;
4. memeriksa orang yang didengar keterangannya sebagai saksi; melakukan pemeriksaan atas alat-alat atau bahan dan barang lain yang berkenaan dengan tindak pidana di bidang perfilman;
5. melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat bahan bukti, serta melakukan penyitaan terhadap bahan dan barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang perfilman;
6. meminta bantuan ahli dalam rangka melaksanakan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perfilman; dan
7. melakukan pengawasan dan pemeriksaan atas pengedaran, pertunjukan dan penayangan film.
3. Pelaksanaan lebih lanjut dari kewenangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan seguai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

BAB X

KETENTUAN PIDANA

Pasal 53

Dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah):

1. barang siapa dengan sengaja mengedarkan, mengekspor, mempertunjukan dan/atau menayangkan film dan/atau reklame film yang ditolak oleh lembaga yang berwenang menyensor film sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39; atau
2. barang siapa dengan sengaja mengedarkan, mengekspor, mempertunjukan dan/atau menayangkan potongan film dan/atau suara tertentu yang ditolak oleh lembaga yang berwenang menyensor film sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39; atau
3. barang siapa dengan sengaja mengedarkan, mengekspor, mempertunjukan dan/atau menayangkan film yang tidak disensor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39.

Pasal 54

1. Dipidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)
1. barang siapa melakukan usaha perfilman tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 sampai dengan Pasal 37.
2. barang siapa mengedarkan, mengekspor, mempertunjukan atau menayangkan reklame film yang tidak disensor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, Pasal 35, Pasal 38 dan Pasal 40.
3. c.barang siapa melakukan kerja sama dengan perusahaan perfilman asing tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 17.
2. Ancaman pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditambah sepertiga jika perusahaan perfilman yang tidak memiliki izin usaha perfilman, mengedarkan, mengekspor, mempertunjukkan, dan/atau menayangkan film dan/atau reklame film yang tidak memiliki tanda lulus sensor.

Pasal 55

1. Atas perintah pengadilan, film sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 huruf a dan b, disita untuk dimusnahkan, sedangkan film sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 huruf c dan reklame film sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) huruf b, dapat disita untuk negara.
2. Film dan reklame film yang disita untuk negara dapat disimpan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang tentang Serah Simpan karya Cetak dan Karya Rekam yang berlaku.

Pasal 56

1. Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 adalah kejahatan.
2. Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 adalah pelanggaran.

Pasal 57

Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 dan Pasal 54, terhadap perusahaan/badan usaha yang tidak memenuhi ketentuan-ketentuan dalam Pasal 10, Pasal 14 ayat (3), Pasal 15 ayat (2), Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2) jo. Pasal 34 ayat (5) Undang-Undang ini dan peraturan pelaksanaannya, dikenakan sanksi denda dan/ atau sanksi administratif berupa pencabutan izin.

BAB XI

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 58

Dengan berlakunya Undang-Undang ini, segala peraturan pelaksanaannya di bidang perfilman yang dikeluarkan berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3473) serta badan atau lembaga yang telah ada, tetap berlaku atau tetap menjalankan fungsinya sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan yang baru berdasarkan Undangundang ini.

BAB XII

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 59

Pada saat berlakunya Undang-Undang ini, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3473) dinyatakan tidak berlaku lagi.

Pasal 60

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta

Pada tanggal.........

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Diundangkan di Jakarta

Pada tanggal..................

MENTERI HUKUM DAN HAM

PENJELASAN

ATAS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR..... TAHUN 200...

TENTANG PERFILMAN


UMUM

Film sebagai karya cipta seni dan budaya yang merupakan media komunikasi massa pandang-dengar, pembinaan dan pengembangannya diarahkan untuk memantapkan nilai-nilai budaya bangsa, menggelorakan semangat pengabdian dan perjuangan bangsa, memperkokoh persatuan dan kesatuan, mempertebal kepribadian dan mencerdaskan bangsa, serta meningkatkan kualitas sumber daya manusia, pada gilirannya akan memantapkan ketahanan nasional.

Dengan bertolak dari pedoman tersebut, maka pengaturan perfilman sebagai hasil dan sekaligus cerminan budaya perlu diarahkan sehingga mampu memperkuat upaya pembinaan kebudayaan nasional. Pengaturan perfilman dimaksudkan untuk meningkatkan jumlah dan kualitas peroduksi film Indonesia dalam fungsinya sebagai komoditi ekonomi dalam upaya mengembangkan usaha perfilman kearah industri yang tetap juga mempertahankan fungsinya sebagai sarana penerangan, pendidikan, dan hiburan.

Masalah ini menjadi semakin penting, terutama apabila dikaitkan dengan kenyataan bahwa peraturan perundang-undangan yang digunakan sebagai landasan pembinaan dan pengembangan perfilman Indonesia sudah tidak memadai dengan situasi dan kondisi yang dihadapkan pada situasi perdagangan bebas yang penuh persaingan. Maka, berdasarkan hal tersebut, dilakukanlah penyempurnaan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman.

Melalui undang-undang ini, upaya pengaturan perfilman Indonesia diusahakan agar tidak saja menjangkau seluruh aspek perfilman, tetapi juga diarahkan pada perwujudan tatanan perfilman secara utuh.

Pengaturan perfilman dalam undang-undang ini disusun berdasarkan pokokpokok pemikiran sebagai berikut

1. Menegaskan secara jelas bahwa Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan filosofis dan konstitusional yang merupakan panduan dalam menumbuhkan dan mengembangkan perfilman di Indonesia sehingga sebagai salah satu sarana pengembangan budaya bangsa, film tetap mampu memperkuat kebudayaan nasional dan mencerminkan pandangan hidup bangsa serta nilai budaya bangsa.
2. Tersusunnya landasan yuridis dan sosiologis yang mampu menjaga kesimbangan antara aspek idiil dan aspek ekonomi dalam usaha perfilman yang dalam pengembangannya harus tetap sesuai dengan jiwa Pasal 33 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945.
3. Dalam upaya mewujudkan iklim yang sehat bagi perfilman Indonsia, pengembangan perfilman dilakukan terhadap berbagai kegiatan perfilman secara menyeluruh dan terpadu sejak tahap produksi sampai dengan tahap pertunjukan atau penayangan dalam suatu mata rantai yang berkesinambungan dengan memperhatikan berbagai kepentingan, sehingga tercapai hasil yang optimal sejalan dengan dasar, dan tujuan penyelenggaraan perfilman.

Termasuk dalam pembinaan dan pengembangan ini adalah upaya menciptakan iklim yang dapat memacu pertumbuhan produksi film Indonesia serta bimbingan dan perlindungan agar penyelenggaraan usaha dapat berlangsung secara harmonis, saling mengisi, dan mencegah adanya tindakan yang menjurus pada persaingan yang tidak sehat ataupun pemusatan pada satu tangan atau satu kelompok.

4. Untuk menjaga agar kehidupan dan pertumbuhan perfilman dapat tetap berjalan seiring dengan pandangan hidup dan kebudayaan bangsa, serta untuk melindungi masyarakat akan dampak negatif yang diakibatkan oleh film, maka setiap film yang akan diedarkan, diekspor, dipertunjukkan, dan atau ditayangkan harus disensor terlebih dahulu.
5. Mengingat dampak yang dapat diakibatkan oleh film, maka tindak pidana dibidang perfilman diberi sanksi yang cukup berat.

Dengan latar belakang pemikiran tadi, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman (lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3473) dinyatakan tidak berlaku lagi.

PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Angka 1

Yang termasuk film sebagai media komunikasi massa pandang-dengar (audio-visual) dalam undang-undang ialah

1. yang dibuat dengan bahan baku pita seluloid melalui proses kimiawi, yang lazim disebut film;
2. yang dibuat dengan bahan pita video atau piringan video melalui proses elektronik, yang lazim disebut rekaman video.
3. yang dibuat dengan bahan baku lainnya atau melalui proses lainnya sebagai hasil perkembangan teknologi, dikelompokan sebagai media komunikasi massa pandang-dengar.



Angka 2 Cukup jelas

Angka 3 Cukup jelas

Angka 4

Pada dasarnya klasifikasi film adalah penelitian dan penggolongan usia penonton atas sebuah film. Perbedaannya dengan penyensoran film, pengklasifikasian dilakukan terhadap film tanpa pemotongan dan hanya akan dipertunjukkan di bioskop. Hal ini berdasarkan pertimbangan bahwa film yang akan dipertunjukkan di bioskop hanya dapat ditonton sesuai dengan klasifikasi usia yang ditetapkan oleh lembaga yang berwenang menyensor dan mengklasifikasi film. Klasifikasi film ini juga dimaksudkan sebagai awal pembelajaran bagi masyarakat untuk suatu saat nanti siap menyaring sendiri dalam menghadapi globalisasi informasi melalui film.

Angka 5 Cukup jelas

Pasal 2 Cukup jelas

Pasal 3 Cukupjelas

Pasal 4 Cukupjelas

Pasal 5 Cukup jelas

Pasal 6 Cukup jelas

Pasal 7 Cukupjelas

Pasal 8 Cukupjelas

Pasal 9

Ayat 1

Pada hakekatnya usaha perfilman dilakukan oleh badan hukum, yaitu perseroan terbatas atau koperasi atau bentuk lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Untuk usaha-usaha perfilman berskala kecil seperti usaha pertunjukan film keliling dan usaha penjualan dan/atau penyewaan film disesuaikan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ayat 2 Cukupjelas

Ayat 3 Cukup jelas

Pasal 10 Cukup jelas

Pasal 11

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan kemampuan nasional adalah sumber daya, baik manusia, potensi, maupun fasilitas yang tersedia di Indonesia Sumber daya manusia, antara lain terdiri dari produser, karyawan film, dan artis film. Potensi dan fasilitas antara lain dapat berupa kekayaan dan keindahan alam, jasa teknik dan budaya bangsa.

Ketentuan ini dimaksudkan agar perusahaan perfilman menghargai, ikut memiliki serta ikut memelihara dan mencintai kemampuan nasional yang tersedia.

Ayat (2)

Larangan praktek monopoli dimaksudkan untuk memberikan kesempatan pemerataan dibidang usaha perfilman termasuk memberikan kesempatan bekerja bagi insan perfilman.

Pasal 12

Yang dimaksud dengan kebebasan berkarya adalah kebebasan untuk menghasilkan karya berdasarkan kemampuan imajinasi, daya cipta, rasa atau karsa, baik dalam bentuk, makna ataupun caranya. Dengan kebebasan berkarya, diharapkan mampu mengembangkan kreativitas perfilman dalam rangka pengembangan budaya bangsa

Pasal 13 Cukup jelas

Pasal14

1. Film untuk tujuan khusus adalah film yang dibuat oleh instansi pemerintah, lembaga atau organisasi dalam rangka pelaksanaan tugas dan fungsinya, seperti film-film penyuluhan pertanian, kesehatan atau film yang dibuat oleh kelompok orang atau perseorangan; misalnya film-film perkawinan dan ulang tahun.
2. Film untuk tujuan apresiasi, eksperimental dan sejenisnya dibuat oleh kelompok orang atau perseorangan dapat dipertunjukkan dikalangan terbatas, misalnya film-film yang dibuat untuk keperluan festival.

Pasal 15 Cukup jelas


Pasal 16

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan sarana promosi film adalah sarana publikasi dan promosi film, baik yang berbentuk iklan, poster, stillphoto, slide, klise, trailer, banner, pamflet, brosur, ballyhoo, folder, plakat maupun sarana publikasi dan promosi lainnya.

Beberapa jenis dan bentuk sarana promosi film pada kenyataannya dapat dibuat oleh perseorangan berdasarkan keahlian, maka pembuatan sarana promosi film dapat pula dilakukan oleh usaha-usaha berskala kecil ataupun perseorangan.

Ayat (2)

Pembuatan sarana promosi film memperhatikan kesesuaian isi film yang dipromosikan, dimaksudkan agar masyarakat benar-benar dapat menikmati film yang isinya sesuai dengan sarana promosi film yang bersangkutan.

Pasal17

Ayat (1)

Hubungan hukum antara aktris dan aktor serta pekerja kreatif film dengan perusahaan pembuatan film dilakukan berdasarkan perjanjian kerja di antara mereka.

Ketentuan ini memberikan penegasan mengenai perlunya jaminan dan perlindungan hukum, seperti jaminan sosial dan asuransi bagi aktris dan aktor serta pekerja kreatif yang berkenaan dengan hal-hal yang bertalian dengan segi-segi profesi ataupun peran yang dimainkannya. Dengan demikian, setiap perjanjian kerja antara aktris dan aktor serta pekerja kreatif dan perusahaan pembuatan film harus memuat tentang jaminan sosial tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Adapun bentuk perlindungan hukum lainnya, misalnya apabila seorang aktris dan aktor merasa bahwa peran dalam suatu adegan bukanlah karya yang dimainkannya dan hal tersebut dinilainya merugikan dirinya secara profesi atau moral, maka yang bersangkutan dapat melakukan tuntutan berdasarkan perjanjian kerja.

Ayat (2)

Yang diatur dengan Peraturan Menteri antara lain adalah hak dan kewajiban antara para pihak, standar honorarium, asuransi, jam kerja, hak para pihak yang terlibat dalam pembuatan film, serta kompensasi atas pengulangan pemutaran suatu film dan lain-lain.

Aktor dan aktris, berhak mendapatkan kompensasi berupa uang apabila film yang didukungnya diputar kembali untuk usaha penjualan dan penyewaaan film serta penayangan melalui lembaga penyiaran televisi dalam dan luar negeri (Perjanjian secara timbal balik).

Aktris dan aktor di bawah umur mendapat perlindungan sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku

Pasal 18

Pada dasarnya, usaha jasa teknik dilakukan oleh perusahaan jasa teknik, namun perusahaan pembuatan film dapat pula melakukan usaha jasa teknik untuk film produksinya sendiri.

Pasal 19

Huruf a Cukup jelas

Huruf b Cukup jelas

Huruf c

Yang dimaksud dengan laboratorium pengolahan film adalah tempat memproses pita seluloid yang telah berisi rekaman gambar (exposed) sehingga menjadi film negatif induk.

Huruf d Cukup jelas

Huruf e Cukup jelas

Huruf f Cukup jelas

Huruf g

Yang dimaksud dengan pencetakan film adalah perbanyakan dari film negatif induk menjadi sejumlah salinan rekaman (copy) positif. Penggandaan film adalah perbanyakan pita video atau piringan video dan atau hasil penemuan teknologi lainnya.

Huruf h

Yang dimaksud dengan sarana lain adalah sarana yang sesuai dengan perkembangan dan kemajuan teknologi.


Pasal 20

Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan kemudahan dan kelancaran ekspor film yang sudah lulus sensor, baik oleh perusahaan ekspor maupun oleh perusahaan yang membuatnya atau perusahaan yang berusaha di bidang pengedaran film dengan tetap memenuhi ketentuan perundang-perundangan untuk ekspor.

Pasal 21 Cukup jelas

Pasal 22 Cukup jelas

Pasal 23

Film impor yang dapat disulihsuarakan adalah film yang telah mendapat rekomendasi dari instansi yang terkait.

Pasal 24 Cukup jelas

Pasal 25

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan dipertunjukan atau ditayangkan kepada umum adalah kalangan terbatas tanpa dipungut bayaran.

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan film untuk tujuan khusus adalah film untuk tujuan tertentu antara lain film pendidikan, film keagamaan, film instruksi, film untuk keperluan seminar, atau festival.

Ayat (4) Cukup jelas

Pasal 26

Yang dimaksud dengan perlakuan khusus adalah memberikan kemudahan dalam peredaran film Indonesia.

Pasal 27

Yang dimaksud dengan pengedaran meliputi kegiatan penyebarluasan film dan sarana promosi film.

Pada dasarnya pengedaran film hanya dapat dilaksanakan oleh perusahaan pengedaran film namun untuk memberikan kemudahan dan kelancaran peredaran film maka perusahaan pembuat film dapat mengedarkan film produksinya sendiri.

Pasal 28 Cukup jelas

Pasal 29 Cukup jelas

Pasal 30 Cukup jelas

Pasal 31

Ayat (1)

Gedung yang dibangun untuk pertunjukan film lazim disebut gedung bioskop. Yang dimaksud dengan tempat adalah ruang yang bukan gedung, yang dapat diperuntukkan bagi pertunjukan film dan atau penayangan film.

Ayat (2) Cukul jelas

Ayat (3)

Ketentuan ini lebih bersifat kelonggaran yang diberikan bagi keperluan tertentu seperti

1. kegiatan sosial masyarakat, acara keluarga, acara perkawinan, dan kegiatan lainnya untuk penayangan/penyuluhan dan hiburan yang dilakukan oleh pemerintah atau badan-badan/organiasi lainnya dengan tidak memungut bayaran;
2. pertunjukan film dan penayangan film secara berkeliling dengan atau tanpa memungut bayaran dari penonton.

Ayat (4) Cukup jelas

Pasal 32

Ayat (1)

Pada dasarnya penayangan film harus dilakukan oleh perusahaan-perusahaan namun untuk meningkatkan perfilman Indonesia dan memberikan wahana bagi para sineas dalam rangka eksperimental dapat dilakukan oleh komunitas.

Yang dimaksud dengan komunitas adalah para sineas yang berkarya untuk meningkatkan perfilman Indonesia.

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Ayat (4) Cukup jelas

Pasal 33

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 34

Trailer film merupakan salah satu sarana promosi film yang berupa bagian-bagian cerita film.

Pasal 35

Ayat (1)

Maksud ketentuan ini adalah untuk memungkinkan pemerintah dapat menarik suatu film dari peredaran, pertunjukan dan atau penayangan terhadap film yang telah lulus sensor apabila film yang bersangkutan ternyata menimbulkan gangguan keamanan, ketertiban, ketenteraman, atau keselarasan hidup masyarakat.

Ayat (2)

Ayat ini dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada produser atau pemilik film yang merasa dirugikan untuk membela haknya dengan mengajukan gugatan terhadap pemerintah melalui peradilan.

Ayat (3) Cukup jelas

Pasal 36 Cukup jelas

Pasal 37

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Pasal 38

Ayat (1) Pengertian sarana promosi film mencakup film iklan yang mempublikasikan/ mempromosikan barang dan jasa kepada khalayak. Yang dimaksud dengan sarana promosi antara lain trailer, film, poster, baliho, banner, bilboard, one sheet, still photo, flyer, sampul/kemasan/ cover rekaman video.

Ayat (2)

Pada dasarnya setiap film wajib disensor dan diklasifikasi sebelum dipertunjukkan dan/atau ditayangkan kepada khalayak umum, kecuali untuk kepentingan tertentu seperti halnya penjurian dan pertunjukan untuk kalangan khusus dalam sebuah festival.

Tujuan penyensoran film adalah untuk melindungi masyarakat dari kemungkinan dampak negatif pertunjukan dan atau penayangan film serta sarana promosi film yang ternyata tidak sesuai dengan dasar dan tujuan penyelenggaraan perfilman.

Ayat (3)

Tujuan pengklasifikasian film adalah disamping untuk melindungi masyarakat juga dimaksudkan untuk mempersiapkan penonton melakukan swasensor (selfcencorship).

Pasal 39

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan sulih suara adalah penggantian suara dari bahasa asing ke bahasa Indonesia.

Ayat (3) Cukup jelas


Pasal 40

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Ayat (4)

Film Indonesia yang ditolak seutuhnya diserahkan kembali kepada pemiliknya untuk disesuaikan dengan catatan lembaga non struktural yg bertugas menyensor film dan dapat diajukan kembali.

Film impor yang ditolak harus segera dikembalikan ke negara asalnya dan tidak dapat diajukan kembali.

Pasal 41 Cukup jelas

Pasal 42

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup Jelas

Ayat (3)

Film Indonesia yang ditolak seutuhnya diserahkan kembali kepada pemiliknya untuk disesuaikan dengan catatan lembaga non struktural yg bertugas mengklasifikasikan film dan dapat diajukan kembali. Film impor yang ditolak harus segera dikembalikan ke negara asalnya dan tidak dapat diajukan kembali.

Pasal 43

Ayat (1) Cukup Jelas

Ayat (2)

Pengajuan keberatan atau pembelaan terhadap film atau sarana promosi film yang ditolak oleh lembaga sensor hanya berlaku bagi perusahaan pembuatan film nasional.

Pasal 44 Cukup jelas

Pasal 45 Cukup jelas

Pasal 46

Ayat (1)

Wujud peran serta masyarakat dalam pengembangan mutu dan kemampuan profesi insan perfilman, misalnya dalam pembentukan lembaga pendidikan dan kritik film. Bentuk peningkatan apresiasi masyarakat, misalnya festival film dan pekan film.

Ayat (2)

Aktor dan aktris film adalah tenaga profesi yang mendapatkan penghasilan dari kegiatan yang berhubungan dengan pemeranan tokoh-tokoh dalam cerita film.

Pekerja kreatif film adalah tenaga profesi yang mendapatkan penghasilan karena melakukan karya kreatif dan artistik dalam pembuatan film dan sarana promosi film.

Ayat (3)

Standar kompetensi adalah standar kemampuan yang harus dimiliki oleh aktor dan artis serta pekerja kreatif film. Yang dimaksud pekerja kreatif antara lain;

Sutradara, Penulis Skenario, Penata Kamera, Penyunting, Penata artistik, Penata suara, Penata musik, Penata rias, Penata busana, Pemimpin Produksi.

Pasal 47 Cukup jelas

Pasal 48 Cukup jelas

Pasal 49

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan pengembangan adalah upaya yang dilakukan secara terus menerus dan berkesinambungan dalam arti yang seluas-luasnya terhadap kegiatan perfilman.

Pengembangan diberikan melalui berbagai kebijaksanaan dan upaya yang mendorong kemajuan perfilman Indonesia, seperti meningkatkan manfaat keberadaan organisasi profesi perfilman, lembaga pendidikan, pengarsipan film, festival, kine klub dan kegiatan lain yang bertujuan untuk meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap film.

Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 50 Cukup jelas

Pasal 51 Cukup jelas

Pasal 52 Cukup jelas

Pasal 53 Cukup jelas

Pasal 54 Cukup jelas

Pasal 55 Cukup jelas

Pasal 56 Cukup jelas

Pasal 57 Cukup jelas

Pasal 58 Cukup jelas

Pasal 59 Cukup jelas

Pasal 60 Cukup jelas