Rabu, 22 Juni 2011

HUKUM PAJAK DAN DASAR HUKUMNYA


HUKUM PAJAK DAN
LANDASAN DASAR-DASAR HUKUMNYA
DI INDONESIA


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Pembayaran pajak merupakan perwujudan dari kewajiban kenegaraan dan peran serta Wajib Pajak untuk secara langsung dan bersama-sama melaksanakan kewajiban perpajakan untuk pembiayaan negara dan pembangunan nasional. Sesuai falsafah undang-undang perpajakan, membayar pajak bukan hanya merupakan kewajiban, tetapi merupakan hak dari setiap warga Negara untuk ikut berpartisipasi dalam bentuk peran serta terhadap pembiayaan negara dan pembangunan nasional. Tanggung jawab atas kewajiban pembayaran pajak, sebagai pencerminan kewajiban kenegaraan di bidang perpajakan berada pada anggota masyarakat sendiri untuk memenuhi kewajiban tersebut. Hal tersebut sesuai dengan sistem self assessment yang dianut dalam Sistem Perpajakan Indonesia.
Eksistensi pajak merupakan sumber pendapatan utama sebuah negara, karena itu merupakan isu strategis yang selalu menjadi pantauan masyarakat. Apalagi sekarang telah dilakukan pembahasan RUU Pajak yang baru yang akan menggantikan UU No. 16/2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Penduduk Indonesia sebesar 215 juta jiwa merupakan potensi pajak yang berlimpah. Ironisnya, hingga 2004 jumlah wajib pajak/ pembayar pajak hanya mencapai 3.670.060 jiwa dengan perincian 2.622.184 pembayar pajak orang pribadi dan 1.047.876 lainnya pembayar pajak badan. Hal ini menandakan bahwa  kebijakan perpajakan tidak cukup kuat untuk melakukan ekstensifikasi pajak di samping proses pendataan wajib pajak yang kurang gencar dilakukan.

Model Penggunaan Antropologi Hukum di Indonesia

Hukum dalam perspektif antropologis merupakan aktifitas kebudayaan yang berfungsi sebagai sarana pengendalian sosial (social control), atau sebagai alat untuk menjaga keteraturan sosial (social order) dalam masyarakat (Black & Mileski, 1973:6; Black,1976:6, 1984:2). Karena itu, hukum dipelajari sebagai bagian yang integral dari kebudayaan secara keseluruhan, bukan sebagai suatu institusi otonom yang terpisah dari segi-segi kebudayaan yang lain (Pospisil, 1971:x). Jadi, untuk memahami tempat hukum dalam struktur masyarakat, maka harus dipahami terlebih dahulu kehidupan sosial dan budaya masyarakat tersebut secara keseluruhan. We must have a look at society and culture at large in order to find the place of law within the total structure. We must have some idea of how society works before we can have a full conception of what law is and how it works (Hoebel, 1954:5).

Rabu, 08 Juni 2011

Pluralisme Hukum: Tema Kajian Antropologi Hukum

Selain mengkaji kasus-kasus sengketa dalam masyarakat, studi-studi antropologis mengenai hukum juga memberi perhatian pada fenomena kemajemukan hukum (legal pluralism) dalam kehidupan masyarakat. Dalam kaitan ini, Cotterrel (1995) menegaskan : 
We should think of law as a social phenomenon pluralistically, as regulation of many kinds existing in a variety of relationships, some of the quite tenuous, with the primary legal institutions of the centralized state. Legal anthropology has almost always worked with pluralist conceptions of law (Cotterrell, 1995:306).
Ini berarti secara empiris dapat dijelaskan, bahwa hukum yang berlaku dalam masyarakat selain terwujud dalam bentuk hukum negara (state law), juga berujud sebagai hukum agama (religious law), dan hukum kebiasaan (customary law).

Metode Investigasi Hukum Dalam Masyarakat


Uraian pada bagian terdahulu memperlihatkan bahwa norma-norma hukum yang berlaku dalam masyarakat secara metodologis dapat dipahami dari keberadaan keputusan-keputusan seseorang atau kelompok orang yang secara sosial diberi otoritas untuk menjatuhkan sanksi-sanksi kepada setiap orang yang melanggarnya. Karena itu, untuk menginvestigasi hukum yang sedang berlaku dalam suatu masyarakat, Llewellyn dan Hoebel (1941:20-1) dan Hoebel (1954:29) memperkenalkan metode penelusuran norma-norma hukum yang berlaku dalam masyarakat melalui 3 cara, yaitu dengan :

Senin, 06 Juni 2011

Perjanjian Penanaman Modal dalam Hukum Perdagangan Internasional (WTO)

DAFTAR ISI
BAB 1 PENGANTAR
BAB 2 LATAR BELAKANG NEGOSIASI TRIMs
Addendum: Canada Administration of the Foreign Investment Review Act,
Report of the Panel, 7 February 1984.
BAB 3 NEGOSIASI TRIMs DALAM PUTARAN URUGUAY (URUGUAY ROUND)
BAB 4 PERJANJIAN WTO MENGENAI TRIMS
Addendum: Agreement on Trade-Related Investment Measures
BAB 5 ARTI PENTING PERJANJIAN TRIMs
BAB 6 PERKEMBANGAN PERJANJIAN TRIMs DALAM KONPERENSI TINGKAT TINGGI
WTO
BAB 7 SENGKETA PENANAMAN MODAL DI WTO: SENGKETA MOBIL NASIONAL RI
Addendum: Indonesia - Certain Measures Affecting the Automobile
Industry, Report of the Panel, 2 July 1998.

Rabu, 18 Mei 2011

PRINSIP-PRINSIP HUKUM


PRINSIP-PRINSIP HUKUM
  1. Actus non facid reum, nisi mens sitrea ( sikap batin yang tidak bersalah, orang tidak boleh dihukum ).
  2. All men are equal before the law, without distinction sex, race, religion and social status (semua manusia adalah sama di depan hukum, tanpa membedakan kelamin, kulit, agama dan status sosial ).
  3. Alterum non laedere ( perbuatanmu janganlah merugikan orang lain ).
  4. Audi et alteram partem atau audiatur et altera pars (para pihak harus didengar).
  5. Bis de eadem re ne sit actio atau ne bis in idem (mengenai perkara yang sama dan sejenis tidak boleh disidangkan untuk yang kedua kalinya ).
  6. Clausula rebus sic stantibus  (suatu syarat dalam hukum internasional bahwa suatu perjanjian antar Negara masih tetap berlaku apabila situasi dan kondisinya tetap sama ).

Sabtu, 30 April 2011

Hukum Dalam Perspektif Antropologi

Hukum Dalam Perspektif Antropologi

Melalui studi-studi antropologis mengenai sistem pengendalian sosial (social control) di berbagai komunitas masyarakat di dunia, kalangan ahli antropologi memberi kontribusi yang sangat penting dan bermakna dalam pengembangan konsep hukum yang secara nyata berlaku dan dioperasikan dalam kehidupan masyarakat. Anthropologist have focussed upon micro processes of legal action and interaction, they have made the universal fact of legal pluralism a central element in the understanding of the working of law in society, and they have self-consciously adopted a comparative and historical approach and drawn the necessary conceptual and theoritical conclusion from this choice (Griffiths, 1986:2).

Sabtu, 23 April 2011

Klausul Arbitrase dan Pengadilan

KEMUNGKINAN DIAJUKANNYA PERKARA
DENGAN KLAUSUL ARBITRASE KE MUKA PENGADILAN

I. Pendahuluan

Dalam suatu hubungan bisnis atau perjanjian, selalu ada kemungkinan timbulnya sengketa. Sengketa yang perlu diantisipasi adalah mengenai bagaimana cara melaksanakan klausul-klausul perjanjian, apa isi perjanjian ataupun disebabkan hal lainnya.

Untuk menyelesaikan sengketa ada beberapa cara yang bisa dipilih, yaitu melalui negosiasi, mediasi, pengadilan dan arbitrase.

Pengertian arbitrase termuat dalam pasal 1 angka 8 Undang Undang Arbitrase dan Alternatif penyelesaian sengketa Nomor 30 tahun 1999:

“Lembaga Arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu, lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul sengketa.”

MEMBANGUN HUKUM INDONESIA DI ERA TEKNOLOGI

MEMBANGUN HUKUM INDONESIA DI ERA TEKNOLOGI

 
Kemajuan teknologi di Indonesia kini dirasakan telah memberikan manfaat bagi perkembangan hukum di tanah air, baik itu yang bersifat akademik maupun secara praktik. Setelah Mahkamah Konstitusi menjadi pionir dalam melakukan berbagai terobosan baru dalam hal penggunaan ITC (Information, technology and communication) pada proses peradilannya, yaitu dimulai dari pendaftaran perkara secara online, persidangan dengan menggunakan teleconference, hingga pemuatan setiap putusan di dalam layan (website) resminya tidak kurang dari 15 menit setelah dibacakannya, kini para akademisi hukum pun secara personal telah pula memanfaatkan keunggulan cyber dalam berkarya.

Senin, 18 April 2011

HUKUM FOREX MENURUT PERSPEKTIF ISLAM

HUKUM FOREX MENURUT PERSPEKTIF ISLAM


FOREX bukan perjudian sekiranya kita mempunyai ilmu semasa menjalankan perniagaan ini di samping tidak lupa untuk berdoa kpd tuhan. Setelah kita mempelajari teknik2, kita berusaha utk memahaminya. setelah kita berasa yakin, boleh lah mencuba menggunakan virtual money semasa trading sbg latihan. jgn gusar dgn keadaan market, bertawakal setelah membuat keputusan. insya Allah kalau rezeki tak ke mana. Jika tiada ilmu, maka jadilah forex seperti taruhan atau perjudian.

Prof. Drs. Masjfuk Zuhdi yang berjudul MASAIL FIQHIYAH;Dalam bukunya Kapita Selecta Hukum Islam, didapati bahawa Forex (Perdagangan Matawang Asing) diperbolehkan dalam hukum islam.

Perdagangan matawang asing timbul kerana adanya perdagangan barang-barang keperluan/komoditi antara negara yang bersifat international. Perdagangan (Eksport-Import) ini tentu memerlukan alat pembayara iaitu WANG yang mana setiap negara mempunyai ketentuan sendiri dan berbeza satu sama lainnya sesuai dengan penawaran dan permintaan di antara negara-negara tersebut sehingga timbul PERBANDINGAN NILAI MATA UANG antara negara.

Hukum Forex Trading Valas Halal Menurut Hukum Islam

Apakah Hukum Forex Trading Valas Halal Menurut Hukum Islam ?

"Jangan engkau menjual sesuatu yang tidak ada padamu,” sabda Nabi Muhammad SAW, dalam sebuah hadits riwayat Abu Hurairah.


Oleh sementara fuqaha (ahli fiqih Islam), hadits tersebut ditafsirkan secara saklek. Pokoknya, setiap praktik jual beli yang tidak ada barangnya pada waktu akad, haram. Penafsiran secara demikian itu, tak pelak lagi, membuat fiqih Islam sulit untuk memenuhi tuntutan jaman yang terus berkembang dengan perubahan-perubahannya.

Sabtu, 09 April 2011

Tinjauan Hukum Tentang Judi


Bicara tentang “Judi” termasuk “Sabung Ayam” yang lebih dikenal dengan tajen selain dilarang oleh Agama, juga secara tegas dilarang oleh hukum positif (KUHP). Hal ini dapat diketahui dari ketentuan pasal 303 KUHP, Jo. UU No.7 tahun 1974 tentang Penertiban Judi Jo. PP.No.9 tahun 1981 Jo. Instruksi Presiden dan Instruksi Menteri Dalam Negeri No.5, tanggal 1 April 1981. Hal ini disadari pemerintah, maka dalam rangka penertiban perjudian, pasal 303 KUHP tersebut dipertegas dengan UU. No.7 1974, yang di dalam pasal 1, mengatur semua tindak pidana judian sebagai kejahatan. Di sini dapat dijelaskan bahwa semua bentuk judi tanpa izin adalah kejahatan tetapi sebelum tahun 1974 ada yang berbentuk kejahatan (pasal 303 KUHP), ada yang berbentuk pelanggaran (pasal 542 KUHP) dan sebutan pasal 542 KUHP, kemudian dengan adanya UU.No.7 1974 diubah menjadi pasal 303 bis KUHP.

Korupsi vs Nasionalisme

Nasionalisme adalah satu paham atau ajaran yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah negara mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia dimana bahasa dan budaya menjadi unsur pengikat dalam melakukan interaksi sosial. Unsur pengikat inilah yang melahirkan kesadaran akan nasionalisme komunitas/rakyat Indonesia ketika berhadapan dengan lingkungan luar yang mengganggu.


Dalam sejarah Indonesia khususnya, nasionalisme masih sangat penting akan keberadaannya, Pertama, misalnya, sebagai ideologi pemersatu untuk melawan penjajah Belanda, atau Jepang, atau dalam melawan hegemoni neo-kolonilalisme. Dulu, kalau orang-orang di kepulauan Nusantara ini tersebar terus, tidak ada ideologi yang mempersatukan dan tentu dengan mudah Belanda menguasai kita. Sangat mungkin orang-orang di kepulauan Nusantara justru saling berperang sendiri. Apalagi, ketika politik adu domba Belanda terus menerus memompakan permusuhan dan konflik-konflik.

Malpraktik dan UU Kesehatan


Tuduhan akan adanya Malapraktik sebenarnya bukan hanya ditujukan pada mereka yang berprofesi sebagai Tenaga Kesehatan yang salah satunya adalah Dokter, akan tetapi tuduhan Malapraktik dapat dituduhkan kepada semua kelompok Profesionalis, yaitu apakah mereka itu kelompok Wartawan, Advokat, Paranormal dan kelompok lainnya. Pengertian Malapraktik selama ini banyak diambil dari kalangan mereka yang berprofesi sebagai tenaga kesehatan, terutama Dokter.

Sedang batasan pengertian umum tentang Malpraktik di kalangan tenaga kesehatan adalah ; Seseorang tenaga kesehatan dalam memberikan tanggungjawab profesinya kepada pasien dilakukan di luar prosedure dan stardard profesi pada umumnya yang berakibat cacat dan matinya sang pasien. Namun rumusan akan standard profesi yang bersifat baku, khususnya bagi tenaga kesehatan (Dokter) secara tegas belum ada dirumuskan di dalam undang-undang.

Senin, 04 April 2011

UNDANG-UNDANG TENTANG KEMENTERIAN NEGARA

http://www.gudang-hukum.co.cc/2011/04/undang-undang-tentang-kementerian.html
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 39 TAHUN 2008
TENTANG
KEMENTERIAN NEGARA



DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh menteri-menteri negara yang membidangi urusan tertentu di bidang pemerintahan;
b. bahwa setiap menteri memimpin kementerian negara untuk menyelenggarakan urusan tertentu dalam pemerintahan guna mencapai tujuan negara sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c. bahwa sesuai ketentuan Pasal 17 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian negara diatur dalam undang-undang;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu membentuk Undang-Undang tentang Kementerian Negara;

Mengingat: Pasal 4, Pasal 17, Pasal 20, dan Pasal 21 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG KEMENTERIAN NEGARA.


BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Kementerian Negara yang selanjutnya disebut Kementerian adalah perangkat pemerintah yang membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan.
2. Menteri Negara yang selanjutnya disebut Menteri adalah pembantu Presiden yang memimpin Kementerian.
3. Urusan Pemerintahan adalah setiap urusan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
4. Pembentukan Kementerian adalah pembentukan Kementerian dengan nomenklatur tertentu setelah Presiden mengucapkan sumpah/janji.
5. Pengubahan Kementerian adalah pengubahan nomenklatur Kementerian dengan cara menggabungkan, memisahkan, dan/atau mengganti nomenklatur Kementerian yang sudah terbentuk.
6. Pembubaran Kementerian adalah menghapus Kementerian yang sudah terbentuk.

BAB II
KEDUDUKAN DAN URUSAN PEMERINTAHAN
Bagian Kesatu
Kedudukan

Pasal 2
Kementerian berkedudukan di Ibu Kota Negara Republik Indonesia.
Pasal 3
Kementerian berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.
Bagian Kedua
Urusan Pemerintahan

Pasal 4
(1) Setiap Menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan.
(2) Urusan tertentu dalam pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. urusan pemerintahan yang nomenklatur Kementeriannya secara tegas disebutkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. urusan pemerintahan yang ruang lingkupnya disebutkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; dan
c. urusan pemerintahan dalam rangka penajaman, koordinasi, dan sinkronisasi program pemerintah.

Pasal 5
(1) Urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a meliputi urusan luar negeri, dalam negeri, dan pertahanan.
(2) Urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b meliputi urusan agama, hukum, keuangan, keamanan, hak asasi manusia, pendidikan, kebudayaan, kesehatan, sosial, ketenagakerjaan, industri, perdagangan, pertambangan, energi, pekerjaan umum, transmigrasi, transportasi, informasi, komunikasi, pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, kelautan, dan perikanan.
(3) Urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf c meliputi urusan perencanaan pembangunan nasional, aparatur negara, kesekretariatan negara, badan usaha milik negara, pertanahan, kependudukan, lingkungan hidup, ilmu pengetahuan, teknologi, investasi, koperasi, usaha kecil dan menengah, pariwisata, pemberdayaan perempuan, pemuda, olahraga, perumahan, dan pembangunan kawasan atau daerah tertinggal.

Pasal 6
Setiap urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3) tidak harus dibentuk dalam satu Kementerian tersendiri.

Rabu, 16 Maret 2011

Supremasi Hukum Dan HAM


Pentingnya Supremasi Hukum Dalam Rangka
Peningkatan Perlindungan HAM

Perlu dicatat, bahwa dari segi hukum, dalam sepuluh tahun terakhir ini ada sejumlah kemajuan penting mengenai upaya bangsa ini untuk melindungi HAM. Seperti diketahui, ada sejumlah produk hukum yang penting tentang HAM. Mulai dari dikeluarkannya TAP MPR No. XVII/1998, amandemen UUD 1945 yang secara eksplisit sudah memasukkan pasal-pasal cukup mendasar mengenai hak- hak asasi manusia, UU No.39/1999 tentang Hak-Hak Asasi Manusia, dan UU No.26/2000 tentang Pengadilan HAM. Dalam tataran hukum normatif, dengan amandemen, UUD 1945 sebenarnya sudah dapat dijadikan sebagai dasar untuk memperkokoh upaya-upaya peningkatan perlindungan HAM. Tetapi dengan adanya undang-undang tentang HAM dan peradilan HAM, secara institusional maupun hukum materil (hukum positif), menjadikan perangkat organik untuk menegakkan hukum dalam kerangka perlindungan HAM atau sebaliknya penegakan supremasi hukum dalam rangka perlindungan HAM menjadi kuat.
Adanya Komisi Nasional HAM (Komnas HAM) dan peradilan HAM patut dicatat sebagai perangkat kelembagaan dasar peningkatan upaya penghormatan dan perlindungan HAM dengan peningkatan kelembagaan yang dapat dikaitkan langsung dengan upaya penegakan hukum. Pada tataran implementasi, memang masih banyak kelemahan dari kedua lembaga tersebut, akan tetapi dengan adannya Komnas HAM dan peradilan HAM dengan sendirinya upaya-upaya peningkatan penghormatan dan perlindungan HAM ini memiliki dua pijakan penting, yaitu pijakan normatif berupa konstitusi dengan UU organiknya serta Komnas HAM dan peradilan HAM yang memungkinkan berbagai pelanggaran HAM dapat diproses sampai di pengadilan.
Dengan demikian, maka perlindungan HAM dapat diletakkan dalam kerangka supremasi hukum karena telah memperoleh pijakan legal, konstitusional dan institusional dengan dibentuknya kelembagaan yang berkaitan dengan HAM dan hukum. Namun demikian tidak berarti bahwa perjuangan HAM sebagaimana dilakukan oleh lembaga-lembaga di luar negeri tidak penting. Peran masyarakat tetap penting, karena institusi Negara biasanya memiliki kepentingannya sendiri. Lebih-lebih bila dilihat dari logika penegakan HAM, dengan kekuasaan yang dimilikinya Negara, lebih khusus aparat pemerintah terutama yang berurusan dengan keamanan dan pertahanan, termasuk yang paling potensial melakukan pelanggaran HAM. Tetapi sebaliknya Negara termasuk aparat kekuasaannya (Polisi dan Tentara) berkewajiban, bukan hanya melindungi, menghormati dan memberi jaminan atas HAM akan tetapi bila dilihat dari penegakan supremasi hukum maka pemerintah dituntut untuk semakin menyempurnakan dan membenahi perangkat hukum dan perundang-undangan yang kondusif bagi penegakan HAM. Untuk mewujudkan hal ini, mau tidak mau diperlukan suatu grand agenda yang perlu dilakukan, yaitu :
1)      Terus menyempurnakan Produk-produk hukum, perundang-undangan tentang HAM. Produk hukum tersebut perlu disesuaikan dengan semangat konstitusi yangPentingnya Supremasi Hukum Dalam Rangka Peningkatan Perlindungan HAM Oleh : Raimond F.Lamandasa, SH *) Dengan demikian, maka perlindungan HAM dapat diletakkan dalam kerangka supremasi hukum karena telah memperoleh pijakan legal, konstitusional dan institusional dengan dibentuknya kelembagaan yang berkaitan dengan HAM dan hukum. Namun demikian tidak berarti bahwa perjuangan HAM sebagaimana dilakukan oleh lembaga-lembaga di luar negeri tidak penting. Peran masyarakat tetap penting, karena institusi Negara biasanya memiliki kepentingannya sendiri. Lebih-lebih bila dilihat dari logika penegakan HAM, dengan kekuasaan yang dimilikinya Negara, lebih khusus aparat pemerintah terutama yang berurusan dengan keamanan dan pertahanan, termasuk yang paling potensial melakukan pelanggaran HAM. Tetapi sebaliknya Negara termasuk aparat kekuasaannya (Polisi dan Tentara) berkewajiban, bukan hanya melindungi, menghormati dan memberi jaminan atas HAM akan tetapi bila dilihat dari penegakan supremasi hukum maka pemerintah dituntut untuk semakin menyempurnakan dan membenahi perangkat hukum dan perundang-undangan yang kondusif bagi penegakan HAM. Untuk mewujudkan hal ini, mau tidak mau diperlukan suatu grand agenda yang perlu dilakukan, yaitu : (1). Terus menyempurnakan Produk-produk hukum, perundang-undangan tentang HAM. Produk hukum tersebut perlu disesuaikan dengan semangat konstitusi yang2  secara eksplisit sudah memberi dasar bagi perlindunan dan jaminan atau HAM. Termasuk disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan dalam konvensi/kovenan internasional tentang HAM, baik dari segi materi tentang HAM-nya itu sendiri maupun tentang kelembagaan Komnas HAM dan peradilan HAM.
2)      Melakukan inventarisasi, mengevaluasi dan mengkaji seluruh produk hukum, KUHP dan KUHAP, yang berlaku yang tidak sesuai dengan HAM. Banyak sekali pasal-pasal dalam berbagai UU yang tidak sesuai, bahkan bertentangan dengan HAM. Termasuk beberapa UU yang dihasilkan dalam sepuluh tahun terakhir ini. Hal ini sebagai konsekuensi dari watak rejim sebelumnya yang memang anti- HAM, sehingga dengan sendirinya produk UU-nya pun kurang atau sama sekali tidak mempertimbangan masalah HAM. Dalam konteks ini, maka agenda ini sejalan dan dapat disatukan dengan agenda reformasi hukum nasional dan ratifikasi konvensi/kovenan, internasional tentang HAM yang paling mendasar seperti kovenan sipil-politik dan kovenan hak ekonomi, sosial dan budaya berikut protocol operasionalnya. Dari segi ukuran maupun substansi serta permasalahannya hal ini merupakan agenda raksasa. Untuk itu pemerintah tidak bisa bekerja sendiri, tetapi perlu melibatkan masyarakat yang memiliki perhatian yang sama seperti kalangan LSM bidang hukum. Dan untuk itu pula perlu dibuat skala prioritas supaya perencanaannya realistis dan pelaksanaannya dilakukan bertahap.
3)      Mengembangkan kapasitas kelembagaan pada instansi-instansi peradilan dan instansi lainnya yang terkait dengan penegakan supremasi hukum dan perlindungan HAM. Penulis tidak ingin ikut membicarakan persoalan memburuknya kondisi system peradilan kita, akan tetapi yang perlu diprioritaskan dalam pengembangan kelembagaan ini adalah meningkatkan kapasitas hakim, jaksa, polisi, panitera dan unsur-unsur pendukungnya dalam memahami dan menangani perkara-perkara hukum yang berkaitan dengan HAM. Termasuk di dalamnya mengenai administrasi dan pelaksanaan penanganan perkara-perkara hukum mengenai pelanggaran HAM. Ini harus disadari betul mengingat masalah HAM baru masuk secara resmi dalam beberapa tahun terakhir ini saja dalam sistem peradilan kita. Bahkan, perlu diakui secara jujur masih banyak, kalau tidak mau dikatakan pada umumnya, aparat penegak hukum kita yang tidak memahami persoalan HAM. Lebih-lebih untuk menangani perkara hukum di peradilan yang pembuktiannya amat pelik dan harus memenuhi standar Komisi HAM PBB. Oleh sebab itu institutional capacity building di instansi-instansi Negara yang terkait dengan masalah HAM ini menjadi amat penting dan mendesak.
4)      Pentingnya sosialisasi dan pemahaman tentang HAM itu sendiri, khususnya di kalangan pemerintahan, utamanya di kalangan instansi yang secara langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan masalah HAM. Sosialisasi pemahaman HAM ini, lagi-lagi merupakan pekejaan raksasa, dan sangat terkait dengan penegakan profesionalisme aparat di dalam melaksanakan bidang kerjanya. Gamangnya aparat pemerintah dalam mengurusi dan ber-urusan dengan masyarakat yang partisipasi politik dan daya kritisnya makin meningkat ini disebabkan, antara lain bukan semata-mata karena kurang memahami masalah HAM, akan tetapi juga karena mereka umumnya kurang dapat melaksanakan rambu-rambu profesionalismenya. Ini berlaku bagi aparat sipil maupun aparat keamanan.
5)      Terakhir, adalah kerjasama dengan kalangan di luar pemerintahan, terutama kalangan Ornop/LSM, akademisi/perguruan tinggi dan kalangan masyarakat lainnya yang memiliki kepedulian terhadap penegakan hukum dan HAM seharusnya menjadi agenda yang terprogram dengan baik. Bukan saatnya bagi instansi pemerintah tertutup dengan kalangan masyarakat sebagaimana terjadi di masa lalu. Dalam kerangka mengembangkan iklim yang lebih demokratis, kini saatnya kalangan pemerintah, bersikap lebih terbuka kepada masyarakat, lebih- lebih untuk keinginan bersama memajukan HAM dalam konteks penegakan hukum. Perlu disadari bahwa kalangan di luar pemerintah, seperti lembaga LBH /YLBHI, sudah lama berkecimpung di bidang penegakan HAM, sejak ketika HAM masih dipandang sebagai masalah sensitif atau bahkan subversif secara politik. Pengalaman panjang mereka dapat dimanfaatkan untuk penyempurnaan kebijakan pemerintah dalam penegakan HAM.

Penulis  : Raimond F.Lamandasa, SH













Senin, 14 Maret 2011

Mafia Hukum Dan Mafia Peradilan

Mafia Hukum di sini lebih dimaksudkan pada proses pembentukan Undang-undang oleh Pembuat undang-undang yang lebih sarat dengan nuansa politis sempit yang lebih berorientasi pada kepentingan kelompok-kelompok tertentu. Bahwa sekalipun dalam politik hukum di Indonesia nuansa politis dalam pembuatan UU dapat saja dibenarkan sebagai suatu ajaran dan keputusan politik yang menyangkut kebijakan publik, namun nuansa politis di sini tidak mengacu pada kepentingan sesaat yang sempit akan tetapi “politik hukum” yang bertujuan mengakomodir pada kepentingan kehidupan masyarakat luas dan berjangka panjang.

Sebagai contoh kecil lahirnya Undang-undang Ketenagakerjaan No.25 tahun 1997 yang mulai diberlakukan pada tanggal 01 Oktober 2002 ( berdasarkan Perpu No.3 tahun 2000 yang telah ditetapkan sebagai UU berdasarkan UU No. 28 tahun 2000), namun belum genap berumur 6 bulan UU tersebut berlaku UU tersebut telah dicabut pada tanggal 25 Maret 2003 dengan diundangkan lagi UU No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang mengganti UU No.25 tahun 1997.

Silih bergantinya undang-undang yang mengatur ketenagakerjaan di Indonesia tidak dapat lepas dari adanya kekuatan tarik-menarik kepentingan antara kepentingan tenaga kerja dengan kepentingan para Pengusaha yang konon kepentingan para Pengusaha tersebut diperjuangkan melalui mereka yang sekarang disebut sebagai “Politisi Busuk”.

Dan pada akhirnya sudah dapat ditebak keberadaan UU No.13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan tersebut dalam praktiknya lebih memihak kepada kalangan Pengusaha. Banyak lagi perundang-undangan kita lainnya yang mengalami nasib senada dengan itu, dan itu semua terjadi karena faktor politis yang bertujuan sempit dari para Pembuat undang-undang.

Sedang Mafia Peradilan di sini lebih dimaksudkan pada hukum dalam praktik yang ada di tangan para Penegak Hukum dimana secara implisit “hukum dan keadilan” telah berubah menjadi suatu komoditas yang dapat diperdagangkan.

Hukum dan keadilan menjadi barang mahal di negeri ini. Prinsip peradilan yang cepat, biaya ringan dan sederhana sulit untuk ditemukan dalam praktik peradilan. Di negeri ini Law Enforcement diibaratkan bagai menegakkan benang basah kata lain dari kata “sulit dan susah untuk diharapkan”.

Salah satunya yang mempersulit penegakan hukum di Indonesia adalah maraknya “budaya korupsi” di semua birokrasi dan stratifikasi sosial yang telah menjadikan penegakan hukum hanya sebatas retorika yang berisikan sloganitas dan pidato-pidato kosong.

Bahkan secara faktual tidak dapat dipungkiri semakin banyak undang-undang yang lahir maka hal itu berbanding lurus semakin banyak pula komoditas yang dapat diperdagangkan. Ironisnya tidak sedikit pula bagian dari masyarakat kita sendiri yang berminat sebagai pembelinya. Di sini semakin tanpak bahwa keadilan dan kepastian hukum tidak bisa diberikan begitu saja secara gratis kepada seseorang jika disaat yang sama ada pihak lain yang menawarnya.

Kenyataan ini memperjelas kepada kita hukum di negeri ini “tidak akan pernah” memihak kepada mereka yang lemah dan miskin. “ Sekali lagi tidak akan pernah… ! ” Sindiran yang sifatnya sarkatisme mengatakan, “berikan aku hakim yang baik, jaksa yang baik, polisi yang baik dengan undang-undang yang kurang baik sekalipun, hasil yang akan aku capai pasti akan lebih baik dari hukum yang terbaik yang pernah ada dinegeri ini”.

Tapi agaknya para Penegak Hukum, Politisi, Pejabat dan Tokoh-Tokoh tertentu dalam masyarakat kita tidak akan punya waktu dan ruang hati untuk dapat mengubris segala bentuk sindiran yang mempersoalkan eksistensi pekerjaan dan tanggungjawab publiknya, jika sindiran itu bakal mengurangi rejekinya. Buruknya proses pembuatan undang-undang dan proses penegakan hukum yang telah melahirkan stigmatisasi mafia hukum dan mafia peradilan di Indonesia, yang kalau kita telusuri keberadaannya ternyata mengakar pada kebudayaan mentalitas kita sebagai suatu bangsa.

Sehingga apa yang disebut dengan mafia hukum dan mafia peradilan eksistensinya cenderung abadi karena ia telah menjadi virus mentalitas yang membudaya dalam proses penegakan hukum di negeri ini. Sehingga berbicara tentang Law Enforcement di Indonesia tidaklah bisa dengan hanya memecat para Hakim, memecat para Jaksa dan memecat para Polisi yang korup, akan tetapi perbaikan tersebut haruslah dimulai dengan pembangunan pendidikan dengan pendekatan pembangunan kebudayaan mentalitas kita sebagai suatu bangsa dan membangun moral force serta etika kebangsaan yang kuat berlandaskan pada Iman dan Taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Namun upaya untuk menempatkan hukum menjadi panglima di negeri ini diperlukan juga adanya polical will dari para elite politik dan gerakan moral dari seluruh anak bangsa yang perduli akan nasib bangsa ini, serta membrantas politikus busuk yang lagi sibuk merebut kekuasaan !

Penulis :  Drs. M Sofyan Lubis, SH

Sejarah Terbentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi

Komisi Pemberantasan Korupsi, atau disingkat menjadi KPK, adalah komisi di Indonesia yang dibentuk pada tahun 2003 untuk mengatasi, menanggulangi dan memberantas korupsi di Indonesia. Komisi ini didirikan berdasarkan kepada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 mengenai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Saat ini KPK dipimpin bersama oleh 4 orang wakil ketuanya, yakni Chandra Marta Hamzah, Bibit Samad Rianto, Mochammad Jasin, dan Hayono Umar, setelah Perpu Plt. KPK ditolak oleh DPR. Pada 25 November, M. Busyro Muqoddas terpilih menjadi ketua KPK setelah melalui proses pemungutan suara oleh Dewan Perwakilan Rakyat.

Senin, 07 Maret 2011

KELALAIAN TERTANGGUNG DALAM PERJANJIAN ASURANSI



KELALAIAN TERTANGGUNG
DALAM PERJANJIAN ASURANSI


BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Setiap orang yang memiiki suatu benda tentu menghadapi suatu risiko bahwa nilai dari miliknya itu akan berkurang, baik karena hilangnya benda itu  maupun karena kerusakan atau karena musnah terbakar atau karena sebab lainnya.
Banyak di antara sebab-sebab yang menjadikan pengurangan nilai itu dapat dicegah dan sudah diharapkan akan terjadinya. Tetapi banyak juga sebab-sebab yang mengurangi nilai benda itu mempunyai sifat yang tidak dapat diharapkan lebih dahulu. Disebabkan karena kebakaran, maka benda seseorag akan hancur, karena pencurian maka seseorang akan kehilangan barang-barang berharganya, karena angin topan maka seseorang akan menderita kerugian dari hasil panennya. Semua hal-hal ini yaitu kebakaran, pencurian, angin topan dan lain-lain itu adalah peristiwa-peristiwa yang pada satu pihak walaupun kemungkinan itu akan terjadi itubesar, tidaklah dapat diharapakan terjadinya dengan suatu kepastian, dan pada pihak lain bahwa orang yang ditimpanya itu biasanya menderita kerugian yang lebih besar dari factor-faktor kerugian yang normal, sedangkan peristiwa-peristiwa ini kadang-kadang juga dapat mengakibatkan mungkin jatuhnya keadaan keuangan dari seseorang. Apabila ini dihubungkan dengan asuransi maka dapatlah dikatakan bahwa kerugian orang-orang itu tadi dapat diperingan atau dikurangi, bahkan ditanggung oleh orang lain asal untuk itu diperjanjikan sebelumnya, diantara orang yang khawatir akan menderita kerugian dengan orang yang mau menanggung kerugian itu diadakanlah perjanjian asuransi.
Berdasarkan besar kecilnya risiko yang dihadapi penanggung dari engalaman perusahaannya dan berapa besar presentase tentang kemungkinan suatu klaim tertentu akan terjadi, dan berdsarkan statistic ini pula penanggung dapat menghitung berapakah besarnyua penggantian keugian itu dan jumlah inilah yang dimintakannya sebagai premi dari tertanggung, akan tetapi di dalam jumlah keseluruhannya ia masih juga memasukkan segala ongkos-ongkos dan unuk dari perusahaannya.
Perjanjian asuransi itu mempunyai tujuan mengganti kerugian pada tertanggung, jadi tertanggung harus dapat menunjukkan bahwa dia menderita kerugian dan benar-benar menderita kerugian. Dalam asuransi itu setiap waktu selalu dijaga supaya jangan sampai seorang tertanggung yang hanya bermaksud menyingkirkan suatu kerugian saja dan mengharapkan suatu untung menikmati asuransi itu dengan cara memakai spekulasi, yang penting ialah bahwa tertanggung harus mempunyai kepentingan bahwa kerugian untuk mana ia mempertanggungkan dirinya itu tidak akan menimpanya.
B.     PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian di atas maka sampailah pada suatu permasalahan yang layak untuk dikaji yaitu:
Apakah pihak penanggung mempunyai tanggung jawab untuk menjamin kerugian kebakaran yang di sebabkan oleh kecerobohan tertanggung?


KELALAIAN TERTANGGUNG DALAM PERJANJIAN ASURANSI

Kehidupan Sosiologi Ditinjau Dari Segi Sosiologi Hukum


makalah sosiologi hukum

Jumat, 18 Februari 2011

UNDANG-UNDANG TENTANG SURAT UTANG NEGARA


UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN2002 TENTANG SURAT UTANG NEGARA -

UNDANG-UNDANG TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH


UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 1999 -

Fenomena Kejahatan Penipuan Internet dalam Kajian Hukum Republik Indonesia


Fenomena Kejahatan Penipuan Internet dalam Kajian Hukum Republik Indonesia -

Kamis, 17 Februari 2011

Perkawinan Di Bawah Umur Menurut Hukum Adat


MAKALAH TENTANG HUKUM ADAT - PERKAWINAN DI BAWAH UMUR -