Rabu, 16 Maret 2011

Supremasi Hukum Dan HAM


Pentingnya Supremasi Hukum Dalam Rangka
Peningkatan Perlindungan HAM

Perlu dicatat, bahwa dari segi hukum, dalam sepuluh tahun terakhir ini ada sejumlah kemajuan penting mengenai upaya bangsa ini untuk melindungi HAM. Seperti diketahui, ada sejumlah produk hukum yang penting tentang HAM. Mulai dari dikeluarkannya TAP MPR No. XVII/1998, amandemen UUD 1945 yang secara eksplisit sudah memasukkan pasal-pasal cukup mendasar mengenai hak- hak asasi manusia, UU No.39/1999 tentang Hak-Hak Asasi Manusia, dan UU No.26/2000 tentang Pengadilan HAM. Dalam tataran hukum normatif, dengan amandemen, UUD 1945 sebenarnya sudah dapat dijadikan sebagai dasar untuk memperkokoh upaya-upaya peningkatan perlindungan HAM. Tetapi dengan adanya undang-undang tentang HAM dan peradilan HAM, secara institusional maupun hukum materil (hukum positif), menjadikan perangkat organik untuk menegakkan hukum dalam kerangka perlindungan HAM atau sebaliknya penegakan supremasi hukum dalam rangka perlindungan HAM menjadi kuat.
Adanya Komisi Nasional HAM (Komnas HAM) dan peradilan HAM patut dicatat sebagai perangkat kelembagaan dasar peningkatan upaya penghormatan dan perlindungan HAM dengan peningkatan kelembagaan yang dapat dikaitkan langsung dengan upaya penegakan hukum. Pada tataran implementasi, memang masih banyak kelemahan dari kedua lembaga tersebut, akan tetapi dengan adannya Komnas HAM dan peradilan HAM dengan sendirinya upaya-upaya peningkatan penghormatan dan perlindungan HAM ini memiliki dua pijakan penting, yaitu pijakan normatif berupa konstitusi dengan UU organiknya serta Komnas HAM dan peradilan HAM yang memungkinkan berbagai pelanggaran HAM dapat diproses sampai di pengadilan.
Dengan demikian, maka perlindungan HAM dapat diletakkan dalam kerangka supremasi hukum karena telah memperoleh pijakan legal, konstitusional dan institusional dengan dibentuknya kelembagaan yang berkaitan dengan HAM dan hukum. Namun demikian tidak berarti bahwa perjuangan HAM sebagaimana dilakukan oleh lembaga-lembaga di luar negeri tidak penting. Peran masyarakat tetap penting, karena institusi Negara biasanya memiliki kepentingannya sendiri. Lebih-lebih bila dilihat dari logika penegakan HAM, dengan kekuasaan yang dimilikinya Negara, lebih khusus aparat pemerintah terutama yang berurusan dengan keamanan dan pertahanan, termasuk yang paling potensial melakukan pelanggaran HAM. Tetapi sebaliknya Negara termasuk aparat kekuasaannya (Polisi dan Tentara) berkewajiban, bukan hanya melindungi, menghormati dan memberi jaminan atas HAM akan tetapi bila dilihat dari penegakan supremasi hukum maka pemerintah dituntut untuk semakin menyempurnakan dan membenahi perangkat hukum dan perundang-undangan yang kondusif bagi penegakan HAM. Untuk mewujudkan hal ini, mau tidak mau diperlukan suatu grand agenda yang perlu dilakukan, yaitu :
1)      Terus menyempurnakan Produk-produk hukum, perundang-undangan tentang HAM. Produk hukum tersebut perlu disesuaikan dengan semangat konstitusi yangPentingnya Supremasi Hukum Dalam Rangka Peningkatan Perlindungan HAM Oleh : Raimond F.Lamandasa, SH *) Dengan demikian, maka perlindungan HAM dapat diletakkan dalam kerangka supremasi hukum karena telah memperoleh pijakan legal, konstitusional dan institusional dengan dibentuknya kelembagaan yang berkaitan dengan HAM dan hukum. Namun demikian tidak berarti bahwa perjuangan HAM sebagaimana dilakukan oleh lembaga-lembaga di luar negeri tidak penting. Peran masyarakat tetap penting, karena institusi Negara biasanya memiliki kepentingannya sendiri. Lebih-lebih bila dilihat dari logika penegakan HAM, dengan kekuasaan yang dimilikinya Negara, lebih khusus aparat pemerintah terutama yang berurusan dengan keamanan dan pertahanan, termasuk yang paling potensial melakukan pelanggaran HAM. Tetapi sebaliknya Negara termasuk aparat kekuasaannya (Polisi dan Tentara) berkewajiban, bukan hanya melindungi, menghormati dan memberi jaminan atas HAM akan tetapi bila dilihat dari penegakan supremasi hukum maka pemerintah dituntut untuk semakin menyempurnakan dan membenahi perangkat hukum dan perundang-undangan yang kondusif bagi penegakan HAM. Untuk mewujudkan hal ini, mau tidak mau diperlukan suatu grand agenda yang perlu dilakukan, yaitu : (1). Terus menyempurnakan Produk-produk hukum, perundang-undangan tentang HAM. Produk hukum tersebut perlu disesuaikan dengan semangat konstitusi yang2  secara eksplisit sudah memberi dasar bagi perlindunan dan jaminan atau HAM. Termasuk disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan dalam konvensi/kovenan internasional tentang HAM, baik dari segi materi tentang HAM-nya itu sendiri maupun tentang kelembagaan Komnas HAM dan peradilan HAM.
2)      Melakukan inventarisasi, mengevaluasi dan mengkaji seluruh produk hukum, KUHP dan KUHAP, yang berlaku yang tidak sesuai dengan HAM. Banyak sekali pasal-pasal dalam berbagai UU yang tidak sesuai, bahkan bertentangan dengan HAM. Termasuk beberapa UU yang dihasilkan dalam sepuluh tahun terakhir ini. Hal ini sebagai konsekuensi dari watak rejim sebelumnya yang memang anti- HAM, sehingga dengan sendirinya produk UU-nya pun kurang atau sama sekali tidak mempertimbangan masalah HAM. Dalam konteks ini, maka agenda ini sejalan dan dapat disatukan dengan agenda reformasi hukum nasional dan ratifikasi konvensi/kovenan, internasional tentang HAM yang paling mendasar seperti kovenan sipil-politik dan kovenan hak ekonomi, sosial dan budaya berikut protocol operasionalnya. Dari segi ukuran maupun substansi serta permasalahannya hal ini merupakan agenda raksasa. Untuk itu pemerintah tidak bisa bekerja sendiri, tetapi perlu melibatkan masyarakat yang memiliki perhatian yang sama seperti kalangan LSM bidang hukum. Dan untuk itu pula perlu dibuat skala prioritas supaya perencanaannya realistis dan pelaksanaannya dilakukan bertahap.
3)      Mengembangkan kapasitas kelembagaan pada instansi-instansi peradilan dan instansi lainnya yang terkait dengan penegakan supremasi hukum dan perlindungan HAM. Penulis tidak ingin ikut membicarakan persoalan memburuknya kondisi system peradilan kita, akan tetapi yang perlu diprioritaskan dalam pengembangan kelembagaan ini adalah meningkatkan kapasitas hakim, jaksa, polisi, panitera dan unsur-unsur pendukungnya dalam memahami dan menangani perkara-perkara hukum yang berkaitan dengan HAM. Termasuk di dalamnya mengenai administrasi dan pelaksanaan penanganan perkara-perkara hukum mengenai pelanggaran HAM. Ini harus disadari betul mengingat masalah HAM baru masuk secara resmi dalam beberapa tahun terakhir ini saja dalam sistem peradilan kita. Bahkan, perlu diakui secara jujur masih banyak, kalau tidak mau dikatakan pada umumnya, aparat penegak hukum kita yang tidak memahami persoalan HAM. Lebih-lebih untuk menangani perkara hukum di peradilan yang pembuktiannya amat pelik dan harus memenuhi standar Komisi HAM PBB. Oleh sebab itu institutional capacity building di instansi-instansi Negara yang terkait dengan masalah HAM ini menjadi amat penting dan mendesak.
4)      Pentingnya sosialisasi dan pemahaman tentang HAM itu sendiri, khususnya di kalangan pemerintahan, utamanya di kalangan instansi yang secara langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan masalah HAM. Sosialisasi pemahaman HAM ini, lagi-lagi merupakan pekejaan raksasa, dan sangat terkait dengan penegakan profesionalisme aparat di dalam melaksanakan bidang kerjanya. Gamangnya aparat pemerintah dalam mengurusi dan ber-urusan dengan masyarakat yang partisipasi politik dan daya kritisnya makin meningkat ini disebabkan, antara lain bukan semata-mata karena kurang memahami masalah HAM, akan tetapi juga karena mereka umumnya kurang dapat melaksanakan rambu-rambu profesionalismenya. Ini berlaku bagi aparat sipil maupun aparat keamanan.
5)      Terakhir, adalah kerjasama dengan kalangan di luar pemerintahan, terutama kalangan Ornop/LSM, akademisi/perguruan tinggi dan kalangan masyarakat lainnya yang memiliki kepedulian terhadap penegakan hukum dan HAM seharusnya menjadi agenda yang terprogram dengan baik. Bukan saatnya bagi instansi pemerintah tertutup dengan kalangan masyarakat sebagaimana terjadi di masa lalu. Dalam kerangka mengembangkan iklim yang lebih demokratis, kini saatnya kalangan pemerintah, bersikap lebih terbuka kepada masyarakat, lebih- lebih untuk keinginan bersama memajukan HAM dalam konteks penegakan hukum. Perlu disadari bahwa kalangan di luar pemerintah, seperti lembaga LBH /YLBHI, sudah lama berkecimpung di bidang penegakan HAM, sejak ketika HAM masih dipandang sebagai masalah sensitif atau bahkan subversif secara politik. Pengalaman panjang mereka dapat dimanfaatkan untuk penyempurnaan kebijakan pemerintah dalam penegakan HAM.

Penulis  : Raimond F.Lamandasa, SH













Senin, 14 Maret 2011

Mafia Hukum Dan Mafia Peradilan

Mafia Hukum di sini lebih dimaksudkan pada proses pembentukan Undang-undang oleh Pembuat undang-undang yang lebih sarat dengan nuansa politis sempit yang lebih berorientasi pada kepentingan kelompok-kelompok tertentu. Bahwa sekalipun dalam politik hukum di Indonesia nuansa politis dalam pembuatan UU dapat saja dibenarkan sebagai suatu ajaran dan keputusan politik yang menyangkut kebijakan publik, namun nuansa politis di sini tidak mengacu pada kepentingan sesaat yang sempit akan tetapi “politik hukum” yang bertujuan mengakomodir pada kepentingan kehidupan masyarakat luas dan berjangka panjang.

Sebagai contoh kecil lahirnya Undang-undang Ketenagakerjaan No.25 tahun 1997 yang mulai diberlakukan pada tanggal 01 Oktober 2002 ( berdasarkan Perpu No.3 tahun 2000 yang telah ditetapkan sebagai UU berdasarkan UU No. 28 tahun 2000), namun belum genap berumur 6 bulan UU tersebut berlaku UU tersebut telah dicabut pada tanggal 25 Maret 2003 dengan diundangkan lagi UU No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang mengganti UU No.25 tahun 1997.

Silih bergantinya undang-undang yang mengatur ketenagakerjaan di Indonesia tidak dapat lepas dari adanya kekuatan tarik-menarik kepentingan antara kepentingan tenaga kerja dengan kepentingan para Pengusaha yang konon kepentingan para Pengusaha tersebut diperjuangkan melalui mereka yang sekarang disebut sebagai “Politisi Busuk”.

Dan pada akhirnya sudah dapat ditebak keberadaan UU No.13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan tersebut dalam praktiknya lebih memihak kepada kalangan Pengusaha. Banyak lagi perundang-undangan kita lainnya yang mengalami nasib senada dengan itu, dan itu semua terjadi karena faktor politis yang bertujuan sempit dari para Pembuat undang-undang.

Sedang Mafia Peradilan di sini lebih dimaksudkan pada hukum dalam praktik yang ada di tangan para Penegak Hukum dimana secara implisit “hukum dan keadilan” telah berubah menjadi suatu komoditas yang dapat diperdagangkan.

Hukum dan keadilan menjadi barang mahal di negeri ini. Prinsip peradilan yang cepat, biaya ringan dan sederhana sulit untuk ditemukan dalam praktik peradilan. Di negeri ini Law Enforcement diibaratkan bagai menegakkan benang basah kata lain dari kata “sulit dan susah untuk diharapkan”.

Salah satunya yang mempersulit penegakan hukum di Indonesia adalah maraknya “budaya korupsi” di semua birokrasi dan stratifikasi sosial yang telah menjadikan penegakan hukum hanya sebatas retorika yang berisikan sloganitas dan pidato-pidato kosong.

Bahkan secara faktual tidak dapat dipungkiri semakin banyak undang-undang yang lahir maka hal itu berbanding lurus semakin banyak pula komoditas yang dapat diperdagangkan. Ironisnya tidak sedikit pula bagian dari masyarakat kita sendiri yang berminat sebagai pembelinya. Di sini semakin tanpak bahwa keadilan dan kepastian hukum tidak bisa diberikan begitu saja secara gratis kepada seseorang jika disaat yang sama ada pihak lain yang menawarnya.

Kenyataan ini memperjelas kepada kita hukum di negeri ini “tidak akan pernah” memihak kepada mereka yang lemah dan miskin. “ Sekali lagi tidak akan pernah… ! ” Sindiran yang sifatnya sarkatisme mengatakan, “berikan aku hakim yang baik, jaksa yang baik, polisi yang baik dengan undang-undang yang kurang baik sekalipun, hasil yang akan aku capai pasti akan lebih baik dari hukum yang terbaik yang pernah ada dinegeri ini”.

Tapi agaknya para Penegak Hukum, Politisi, Pejabat dan Tokoh-Tokoh tertentu dalam masyarakat kita tidak akan punya waktu dan ruang hati untuk dapat mengubris segala bentuk sindiran yang mempersoalkan eksistensi pekerjaan dan tanggungjawab publiknya, jika sindiran itu bakal mengurangi rejekinya. Buruknya proses pembuatan undang-undang dan proses penegakan hukum yang telah melahirkan stigmatisasi mafia hukum dan mafia peradilan di Indonesia, yang kalau kita telusuri keberadaannya ternyata mengakar pada kebudayaan mentalitas kita sebagai suatu bangsa.

Sehingga apa yang disebut dengan mafia hukum dan mafia peradilan eksistensinya cenderung abadi karena ia telah menjadi virus mentalitas yang membudaya dalam proses penegakan hukum di negeri ini. Sehingga berbicara tentang Law Enforcement di Indonesia tidaklah bisa dengan hanya memecat para Hakim, memecat para Jaksa dan memecat para Polisi yang korup, akan tetapi perbaikan tersebut haruslah dimulai dengan pembangunan pendidikan dengan pendekatan pembangunan kebudayaan mentalitas kita sebagai suatu bangsa dan membangun moral force serta etika kebangsaan yang kuat berlandaskan pada Iman dan Taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Namun upaya untuk menempatkan hukum menjadi panglima di negeri ini diperlukan juga adanya polical will dari para elite politik dan gerakan moral dari seluruh anak bangsa yang perduli akan nasib bangsa ini, serta membrantas politikus busuk yang lagi sibuk merebut kekuasaan !

Penulis :  Drs. M Sofyan Lubis, SH

Sejarah Terbentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi

Komisi Pemberantasan Korupsi, atau disingkat menjadi KPK, adalah komisi di Indonesia yang dibentuk pada tahun 2003 untuk mengatasi, menanggulangi dan memberantas korupsi di Indonesia. Komisi ini didirikan berdasarkan kepada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 mengenai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Saat ini KPK dipimpin bersama oleh 4 orang wakil ketuanya, yakni Chandra Marta Hamzah, Bibit Samad Rianto, Mochammad Jasin, dan Hayono Umar, setelah Perpu Plt. KPK ditolak oleh DPR. Pada 25 November, M. Busyro Muqoddas terpilih menjadi ketua KPK setelah melalui proses pemungutan suara oleh Dewan Perwakilan Rakyat.

Senin, 07 Maret 2011

KELALAIAN TERTANGGUNG DALAM PERJANJIAN ASURANSI



KELALAIAN TERTANGGUNG
DALAM PERJANJIAN ASURANSI


BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Setiap orang yang memiiki suatu benda tentu menghadapi suatu risiko bahwa nilai dari miliknya itu akan berkurang, baik karena hilangnya benda itu  maupun karena kerusakan atau karena musnah terbakar atau karena sebab lainnya.
Banyak di antara sebab-sebab yang menjadikan pengurangan nilai itu dapat dicegah dan sudah diharapkan akan terjadinya. Tetapi banyak juga sebab-sebab yang mengurangi nilai benda itu mempunyai sifat yang tidak dapat diharapkan lebih dahulu. Disebabkan karena kebakaran, maka benda seseorag akan hancur, karena pencurian maka seseorang akan kehilangan barang-barang berharganya, karena angin topan maka seseorang akan menderita kerugian dari hasil panennya. Semua hal-hal ini yaitu kebakaran, pencurian, angin topan dan lain-lain itu adalah peristiwa-peristiwa yang pada satu pihak walaupun kemungkinan itu akan terjadi itubesar, tidaklah dapat diharapakan terjadinya dengan suatu kepastian, dan pada pihak lain bahwa orang yang ditimpanya itu biasanya menderita kerugian yang lebih besar dari factor-faktor kerugian yang normal, sedangkan peristiwa-peristiwa ini kadang-kadang juga dapat mengakibatkan mungkin jatuhnya keadaan keuangan dari seseorang. Apabila ini dihubungkan dengan asuransi maka dapatlah dikatakan bahwa kerugian orang-orang itu tadi dapat diperingan atau dikurangi, bahkan ditanggung oleh orang lain asal untuk itu diperjanjikan sebelumnya, diantara orang yang khawatir akan menderita kerugian dengan orang yang mau menanggung kerugian itu diadakanlah perjanjian asuransi.
Berdasarkan besar kecilnya risiko yang dihadapi penanggung dari engalaman perusahaannya dan berapa besar presentase tentang kemungkinan suatu klaim tertentu akan terjadi, dan berdsarkan statistic ini pula penanggung dapat menghitung berapakah besarnyua penggantian keugian itu dan jumlah inilah yang dimintakannya sebagai premi dari tertanggung, akan tetapi di dalam jumlah keseluruhannya ia masih juga memasukkan segala ongkos-ongkos dan unuk dari perusahaannya.
Perjanjian asuransi itu mempunyai tujuan mengganti kerugian pada tertanggung, jadi tertanggung harus dapat menunjukkan bahwa dia menderita kerugian dan benar-benar menderita kerugian. Dalam asuransi itu setiap waktu selalu dijaga supaya jangan sampai seorang tertanggung yang hanya bermaksud menyingkirkan suatu kerugian saja dan mengharapkan suatu untung menikmati asuransi itu dengan cara memakai spekulasi, yang penting ialah bahwa tertanggung harus mempunyai kepentingan bahwa kerugian untuk mana ia mempertanggungkan dirinya itu tidak akan menimpanya.
B.     PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian di atas maka sampailah pada suatu permasalahan yang layak untuk dikaji yaitu:
Apakah pihak penanggung mempunyai tanggung jawab untuk menjamin kerugian kebakaran yang di sebabkan oleh kecerobohan tertanggung?


KELALAIAN TERTANGGUNG DALAM PERJANJIAN ASURANSI

Kehidupan Sosiologi Ditinjau Dari Segi Sosiologi Hukum


makalah sosiologi hukum