Saat ini menggadaikan barang dan perhiasan menjadi hal yang lumrah
untuk mencukupi kebutuhan yang sifatnya mendesak. Sistem pembayarannya
pun sudah ada yang berbasis syariah. Lalu, bagaimana hukumnya?
Pengamat Ekonomi Syariah, Andriwarman
Karim mengkritik fenomena lonjakan kegiatan gadai emas syariah. Baik di
pusat jasa pegadaian atau di industri perbankan syariah di tanah air.
Modifikasi top up atau gadai ulang ini pertama kali
diperkenalkan ilmunya oleh BRI Syariah. Setelah ini berkembang luas,
barulah kemudian BI melihat pertumbuhan dari gadai emas di bank syariah
ini luar biasa cepatnya,” ungkapnya.
Pada awalnya, produk gadai emas Syariah
ketika diluncurkan sekitar tahun 2007, relatif tidak ada masalah, lalu
masalah baru muncul ketika nasabah melakukan modifikasi gadai ulang.
Saat sudah jatuh tempo, nasabah tidak membayar uangnya, tapi dia
melakukan gadai ulang.
"Jadi emasnya tidak jadi ditebus. Sekali
menaruh emas misalnya 100 gram, sehabis itu setiap empat bulan sekali
dia dapat uang karena melakukan gadai ulang," ujarnya.
Dia melanjutkan sehingga nasabah bisa
mendapat pinjaman terus menerus dengan hanya menaruh 100 gram emas.
Kondisi inilah yang lama kelamaan membuat arah dan tujuan awal dari
kegiatan gadai syariah melenceng dari ruh fatwa no 25 dan no 25 DSN MUI.
Untuk mencegah layanan gadai emas syariah menjadi jauh dari ruh
fatwanya.
"Saya selalu sarankan untuk pembatasan frekuensi gadai ulang maksimum tiga kali," pungkasnya.
Adapun, gadai secara hukumnya dibolehkan
asalkan tidak terkandung unsur-unsur ribawi. Bahkan beberapa kali
tercatat Rasulullah SAW mengadaikan harta bendanya. Perbedaan utama
antara gadai syariah dengan gadai yang haram adalah dalam hal pengenaan
bunga. Pegadaian syariah bebas dari bunga, yang ada adalah biaya
penitipan barang.
Dalam perkembangannya, gadai yang sesuai
syariah ternyata memilki potensi pasar yang besar sehingga di
negara–negara dengan mayoritas penduduk muslim, seperti di Timur Tengah
dan Malaysia, pegadaian syariah telah berkembang pesat. Bahkan di negeri
Indonesia pun sekarang sudah mulai banyak pegadian yang menggunakan
sistem syariah, atau dikenal dengan nama Pegadaian Syariah.
Berkaitan dengan hal ini, Rasulullah
pernah ditanya tentang seseorang menggadaikan kambingnya, bolehkah
kambingnya diperah. Nabi mengizinkan, sekadar untuk menutup biaya
pemeliharaan. Artinya, Rasullullah mengizinkan kita mengambil keuntungan
dari barang yang digadaikan untuk menutup biaya pemeliharaan. Biaya
pemeliharaan itulah yang kemudian dijadikan dasar ijtihad para pakar
keuangan syariah, sehingga gadai atau rahn ini menjadi produk keuangan syariah yang cukup menjanjikan.
Namun pegadaian yang sering kita
saksikan di negeri Indonesia ini banyak yang melanggar aturan syariah,
sehingga hukumnya haram. Sebab, prakteknya justru sekadar pembungaan
uang atau hutang yang nyata-nyata diharamkan di dalam semua agama.
Sumber : www.gomuslim.co.id
0 comments:
Posting Komentar